![]() |
Ilustrasi |
Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Ada satu penyakit lama yang tak pernah sembuh-sembuh di republik ini: penyakit lupa. Lupa janji, lupa rakyat, lupa jalan pulang ke desa, lupa bau lumpur sawah dan suara ibu-ibu pasar. Tapi anehnya, penyakit ini munculnya selalu setelah pesta demokrasi usai. Sebelum pemilu, semua kandidat seolah menjadi sahabat karib rakyat. Mereka tersenyum, menepuk bahu, mencium bayi, bahkan tak segan duduk lesehan makan pecel di warung pinggir jalan. Begitu menang, wah… mendadak mereka berubah menjadi makhluk langka yang hanya bisa ditemui lewat layar televisi atau baliho baru dengan wajah lebih mulus.
Saya sering membayangkan, seandainya ada “mesin pengingat” yang dipasang di kepala para politisi, maka setiap kali mereka hendak lupa janji, mesin itu akan berbunyi keras seperti alarm Subuh di mushola kampung. Sayangnya, yang ada justru mesin “auto-delete” yang bekerja begitu cepat menghapus memori janji-janji manis kampanye. Rakyat hanya bisa tersenyum getir, sambil bilang dalam hati: “Ah, begini lagi, begini lagi.”
Politik kita kadang mirip sinetron. Ada drama, ada tangisan, ada adegan pelukan dengan rakyat miskin. Padahal kamera belum tentu merekam kejujuran, ia hanya merekam kepiawaian berpura-pura. Setelah pemilu selesai, rakyat kembali ke rutinitasnya: antre minyak goreng, bayar listrik, dan menutup mulut ketika harga-harga naik. Sementara sang pemenang sibuk dengan kursi, jabatan, dan koalisi.
Namun jangan buru-buru menyalahkan sepenuhnya para politisi. Mereka juga manusia biasa yang gampang tergoda oleh kenikmatan kuasa. Mungkin yang harus kita koreksi adalah sistem pesta demokrasinya yang terlalu heboh, tapi tidak punya tindak lanjut yang nyata untuk menjaga ingatan para pemenang agar tetap waras. Demokrasi seharusnya bukan sekadar urusan siapa yang menang, tetapi juga bagaimana janji tidak berubah jadi debu.
Maka, barangkali rakyat harus belajar cara baru: jangan cepat percaya pada kata-kata manis menjelang pemilu, tapi simpanlah janji-janji itu seperti kuitansi utang. Kalau nanti sang pemenang pura-pura lupa, kita tinggal menagih dengan senyum paling tulus. Karena dalam politik, senyum rakyat yang kecewa jauh lebih tajam daripada kritik paling pedas (***)