Ilustrasi
Banyuasin Pos – Kurikulum sering disebut sebagai “jantung” pendidikan. Melalui kurikulumlah arah pembelajaran ditentukan, potensi anak-anak digali, dan masa depan bangsa dipertaruhkan. Namun, sebuah kurikulum tak cukup hanya menjadi daftar mata pelajaran dan standar kompetensi. Ia harus hidup, berdenyut, dan menyentuh kebutuhan nyata peserta didik.
Kurikulum yang mencerdaskan sejatinya tidak hanya melahirkan siswa yang cerdas secara akademis. Lebih dari itu, kurikulum diharapkan mampu menumbuhkan manusia yang lengkap: memiliki pengetahuan, keterampilan hidup, empati sosial, hingga keberanian berpikir kritis. Artinya, pendidikan tak hanya bicara angka, tetapi juga membentuk pribadi yang utuh.
Tantangan zaman pun semakin kompleks. Di era globalisasi, anak-anak dituntut menguasai keterampilan abad ke-21: berpikir kritis, berkolaborasi, kreatif, sekaligus melek teknologi digital. Maka, kurikulum harus adaptif dan responsif, agar siswa Indonesia tidak hanya siap di dalam negeri, tetapi juga mampu bersaing di panggung dunia.
Di sisi lain, setiap anak membawa bakat dan cara belajar yang berbeda. Karena itu, kurikulum tidak bisa kaku. Ia harus lentur, memberi ruang untuk menyesuaikan diri dengan karakteristik peserta didik. Pendekatan personal semacam ini memungkinkan anak berkembang sesuai jalur terbaiknya masing-masing.
Yang tak kalah penting, kurikulum juga harus berpijak pada akar budaya dan nilai lokal. Indonesia kaya dengan keberagaman bahasa, tradisi, dan kearifan. Jika kekayaan ini diangkat ke dalam pembelajaran, siswa bukan hanya cerdas, tetapi juga memiliki identitas yang kuat sebagai bagian dari bangsa yang majemuk.
Namun, merancang kurikulum bagus saja tidak cukup. Implementasinya sering kali menjadi batu sandungan. Tanpa guru yang kompeten, fasilitas memadai, serta dukungan semua pihak, kurikulum berisiko kehilangan makna. Karena itu, pelatihan guru, ketersediaan sumber belajar, hingga evaluasi berkala menjadi kunci keberhasilan.
Guru juga tak boleh dipandang hanya sebagai pelaksana, tetapi mitra dalam merumuskan kurikulum. Pengalaman mereka di lapangan menjadi masukan berharga agar kurikulum realistis dan aplikatif. Dengan begitu, guru merasa memiliki dan lebih semangat dalam menjalankan perannya (***)