![]() |
Ilustrasi |
Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Pemimpin Redaksi Banyuasin Pos
Ada rasa bangga yang sulit disembunyikan ketika kita melihat Kereta Cepat Whoosh melintas dengan keanggunan modernnya. Rel baja berkilau, stasiun megah, dan deru mesinnya seperti tanda bahwa bangsa ini sedang berlari menuju masa depan. Tapi di tengah decit roda yang melaju cepat itu, ada suara kecil yang pelan—suara dari dompet rakyat, dari hati yang bertanya: siapa sebenarnya yang menanggung kecepatannya?
Kemajuan memang menggoda. Siapa yang tak ingin melihat Indonesia bergerak secepat dunia? Tapi seperti halnya manusia yang terlalu terburu cinta, negara pun bisa terlalu terburu ingin disebut hebat. Kita kadang bangga lebih dulu, baru menghitung kemudian. Padahal, dalam setiap kecepatan, selalu ada ongkos yang harus dibayar — dan tidak selalu berupa uang.
Ada petani yang mungkin tak pernah naik Whoosh, tapi ikut menanggung bunganya lewat pajak. Ada nelayan di pesisir yang mungkin tak tahu di mana relnya berada, tapi ikut menyumbang lewat harga solar yang naik. Dan ada anak kecil di kampung yang mungkin lebih butuh jembatan daripada kereta cepat, tapi tetap disebut bagian dari “kemajuan bangsa”.
Saya tidak sedang menolak perubahan. Saya hanya ingin kita belajar menghitung dengan hati, bukan hanya dengan kalkulator ekonomi. Sebab di negeri ini, angka sering kali bisa dipoles, tapi perasaan rakyat tak pernah bisa ditipu. Kalau uang negara ikut menanggung utang, artinya setiap peluh rakyat juga ikut terseret ke dalam gerbong besar bernama ambisi.
Kereta cepat itu memang luar biasa. Tapi jangan biarkan kecepatannya membuat kita kehilangan arah. Karena kemajuan sejati bukan diukur dari seberapa cepat roda berputar, melainkan dari seberapa adil kita berbagi beban agar semua bisa ikut melaju — meski dengan langkah yang sederhana (***)