![]() |
Ilustrasi |
Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Pemimpin Redaksi Banyuasin Pos
Kita sering mendengar pepatah itu: hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas. Seolah-olah hukum punya pedang bermata dua, tapi hanya dipakai untuk mengiris rakyat kecil, sementara kalau berhadapan dengan orang besar, pedangnya mendadak tumpul, bahkan disarungkan kembali dengan penuh sopan santun. Yang lebih lucu, rakyat kecil bisa langsung disikat hanya karena mencuri ayam, sementara yang besar-besar bisa duduk di kursi empuk, tersenyum di depan kamera, sambil bilang “kita hormati proses hukum yang berjalan”.
Kalau dipikir-pikir, hukum di negeri ini mirip pagar rumah. Pagar dibuat untuk melindungi rumah, tapi kadang-kadang justru pagar itulah yang melukai orang-orang yang tidak punya daya. Lihat saja, orang kecil salah sedikit, sanksinya bisa cepat sekali. Sedangkan pejabat atau orang punya kuasa, salah besar pun bisa dilapisi ribuan alasan. Maka, jangan heran kalau rakyat sering merasa hukum itu bukan keadilan, melainkan dekorasi belaka.
Namun, rakyat Indonesia itu unik. Mereka bisa saja kesal, tapi tetap tertawa. Di warung kopi, sambil menyeruput kopi tubruk, obrolan tentang kasus-kasus hukum sering jadi bahan guyonan. “Kalau mau aman, jangan jadi rakyat kecil,” kata salah satu. Yang lain menimpali, “iya, jadi besar sekalian, biar kebal hukum.” Gelak tawa pun pecah, meski dalam hati mereka sebenarnya menyimpan getir yang panjang.
Hukum yang seharusnya jadi penuntun, malah kadang jadi tontonan. Kita menyaksikan drama demi drama, sidang demi sidang, yang lebih seru daripada sinetron sore. Bedanya, dalam sinetron ada akhir cerita, sedangkan dalam drama hukum kita, ending-nya sering menggantung. Para pemainnya pun bisa keluar masuk panggung tanpa malu, seakan-akan rakyat hanyalah penonton yang tak punya hak bersuara.
Tapi barangkali, justru dari kesadaran pahit itulah kita belajar. Bahwa keadilan sejati tidak hanya terletak pada gedung pengadilan, melainkan juga pada nurani manusia. Kalau hukum di atas kertas bisa tumpul, semoga hukum di hati kita tetap tajam. Karena pada akhirnya, keadilan sejati bukan soal siapa yang punya kuasa, melainkan siapa yang berani menjaga kebenaran meski tanpa kuasa (***)