![]() |
Ilustrasi |
Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Pemimpin Redaksi Banyuasin Pos
Di negeri kita, laut itu ibarat halaman depan rumah, tapi sering diperlakukan seperti halaman tetangga. Kita berteriak lantang di panggung internasional bahwa Indonesia adalah poros maritim dunia, bahwa kita punya kedaulatan laut yang harus dihormati. Tapi begitu turun ke kenyataan, nelayan kecil masih sibuk berebut ikan dengan kapal-kapal besar asing, sementara pejabat sibuk berebut proyek. Retorika terdengar megah, tapi jaring nelayan tetap bolong.
Kalau laut itu ibarat ibu, maka kita ini anak yang jarang pulang. Kita sering memuji ibunya, bahkan membuat puisi panjang soal cinta kepada ibu. Tapi ketika ibu sakit, kita malah sibuk rapat membahas siapa yang paling berhak jadi ahli waris. Laut kita dijadikan bahan pidato, bahan kampanye, bahkan bahan lirik lagu kebangsaan, tapi tidak betul-betul diurus. Padahal, kalau laut marah, kita semua bisa tenggelam.
Lucunya, di kampung-kampung pesisir, para nelayan masih sering dianggap warga kelas dua. Mereka yang menjaga laut, yang setiap hari mempertaruhkan nyawa di gelombang, justru tidak masuk daftar prioritas pembangunan. Jalan ke kampung mereka rusak, listrik sering padam, anak-anak mereka kesulitan sekolah. Sementara di kota, kita mendengar seminar mewah tentang “blue economy” dengan konsumsi prasmanan yang lebih mahal dari hasil tangkapan nelayan seminggu.
Laut itu bukan hanya soal ikan, pasir, atau minyak. Laut adalah jati diri kita. Tapi jati diri ini, oleh para penguasa, sering dijual murah. Ada yang bilang, menjaga laut itu mahal. Tapi membiarkan laut dirampas orang lain, bukankah itu lebih mahal? Apakah kita ini bangsa pemilik laut, atau sekadar penyewa yang gampang tergoda kontrak kerjasama internasional?
Maka selama kedaulatan laut hanya berhenti di spanduk, pidato, dan jargon kampanye, kita sebenarnya sedang membiarkan diri kita hanyut. Kita bangga menyebut diri negara kepulauan, tapi di dalam hati kita masih berpikir daratan. Barangkali, kita baru akan benar-benar sadar bahwa laut itu milik kita, kalau suatu hari nanti, air asin sudah masuk ke ruang tamu kita. Tapi mudah-mudahan, sebelum itu terjadi, kita sempat belajar pulang dan benar-benar menghormati laut sebagai ibu kandung kita sendiri (***)