![]() |
Ilustrasi |
Kalau kita bicara soal hukum, ibarat bicara soal timbangan. Timbangan itu memang diciptakan supaya seimbang. Tapi masalahnya, yang menaruh barang di atas timbangan kadang bukan orang jujur. Ada yang sengaja menekan sebelah, ada yang menyelipkan kertas di bawah piring timbangan, ada juga yang pura-pura buta tapi sebenarnya sedang mengintip. Maka hukum yang katanya netral, di mata rakyat kecil sering terasa miring.
Bagi seorang pejabat yang berpengaruh, hukum bisa berubah menjadi kawan lama yang penuh pengertian. Kalau dia salah, hukum datang sambil menepuk bahu, “Ah, namanya juga manusia.” Tapi bagi tukang becak yang salah parkir, hukum datang dengan wajah garang, mata melotot, tangan sudah siap menulis surat tilang. Rasanya, hukum itu punya dua wajah: lembut di atas, keras di bawah.
Namun jangan buru-buru kita salahkan hukum sebagai sebuah kitab atau pasal. Pasal-pasal itu cuma huruf mati. Yang bikin ia hidup adalah manusia yang menafsirkannya. Dan di sinilah masalahnya: manusia selalu membawa kepentingan, selera, bahkan dendam pribadi. Jadinya, hukum itu seolah punya aroma berbeda-beda, tergantung siapa yang sedang membacakan.
Kalau begitu, apakah kita harus pesimis? Tidak juga. Justru kita harus terus mengingatkan, bahwa hukum itu bukanlah dewa yang berdiri di altar. Ia hanyalah alat. Kalau alatnya bengkok, ya tugas manusialah untuk meluruskannya. Kalau tidak bisa lurus semua, setidaknya jangan dibiarkan makin miring. Kalau tidak bisa adil seratus persen, setidaknya jangan sampai adilnya hanya berlaku bagi segelintir orang.
Hukum yang tak pernah benar-benar sama di mata semua orang, mungkin adalah takdir sebuah negeri yang masih belajar. Sama seperti anak kecil yang baru belajar menulis, hurufnya pasti miring ke sana-sini. Tapi kalau gurunya terus mengawasi dan sabar membimbing, lama-lama ia bisa menulis dengan rapi. Yang jadi soal, kalau guru malah ikut-ikutan salah mencontohkan, maka huruf itu akan selamanya bengkok (***)