-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Haji dan Harga Sebuah Keikhlasan

Rabu, 29 Oktober 2025 | 19.27 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-29T12:30:31Z
Ilustrasi 

Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Pemimpin Redaksi Banyuasin Pos

Pemerintah baru saja mengumumkan kabar gembira: biaya haji tahun 2026 turun. Angkanya kini Rp54,1 juta per jemaah. Media ramai menulisnya, pejabat tersenyum di depan kamera, dan sebagian calon jemaah bernafas sedikit lega. Tapi entah kenapa, di antara angka-angka yang menari di layar televisi itu, saya justru teringat pada satu kata yang tak pernah masuk dalam tabel anggaran: ikhlas. Berapa sih harga sebuah keikhlasan dalam perjalanan menuju rumah Tuhan?


Orang bilang, haji itu panggilan. Tapi hari ini, panggilan itu sering bersuara lewat kalkulator, bukan lewat hati. Kita sibuk menghitung berapa cicilan yang harus disetor, berapa kuota tahun ini, berapa selisih kurs dolar. Padahal, Nabi Ibrahim dulu berangkat bukan karena uang, tapi karena perintah yang bahkan tak masuk akal bagi logika manusia. Maka jangan-jangan, haji zaman sekarang lebih mirip seminar spiritual berbiaya tinggi ketimbang perjalanan suci yang menelanjangi ego manusia.


Saya tidak sedang menyalahkan siapa pun. Pemerintah sudah berusaha meringankan beban, DPR sudah menegosiasikan angka, dan BPKH sudah menghitung nilai manfaat dengan rumus yang sulit diucapkan oleh lidah orang kampung. Tapi kalau kita jujur, ada sesuatu yang hilang dari kesyahduan berita ini. Ibadah yang seharusnya menundukkan diri, kini kita sambut dengan tepuk tangan karena biaya turun dua juta. Seolah surga bisa diangsur lebih ringan dengan diskon akhir tahun.


Barangkali Tuhan tersenyum melihat kita. Katanya, “Umat-Ku pandai sekali berhitung. Tapi bisakah mereka menghitung air mata yang jatuh di Arafah? Bisakah mereka menghitung seberapa bersih niat mereka ketika menyebut nama-Ku di depan Ka’bah?” Karena sesungguhnya, haji bukan tentang berapa banyak uang yang dikeluarkan, melainkan berapa ego yang ditanggalkan. Ia bukan tentang angka yang dicatat bendahara, tapi tentang catatan amal yang dibuka malaikat.


Saya jadi ingat obrolan dengan seorang kakek di sebuah pasar mingguan (kalangan). Ia berkata lirih, “Saya belum bisa naik haji, Nak. Tapi saya sudah mencoba jadi tamu Allah setiap Subuh.” Kalimat itu sederhana tapi dalam. Mungkin ia tak punya Rp54 juta, tapi ia punya sesuatu yang lebih mahal: kerendahan hati untuk datang kepada Tuhan tanpa menunggu undangan resmi dari biro haji. Di situlah saya paham, ternyata yang paling mahal dari perjalanan haji bukanlah tiket pesawat, tapi keberangkatan hati.


Maka ketika pemerintah menurunkan biaya haji, semoga yang ikut turun bukan hanya ongkos, tapi juga kesombongan kita. Dan ketika kita naik pesawat menuju Tanah Suci, semoga yang benar-benar naik bukan hanya tubuh kita, tapi juga derajat keikhlasan di hadapan Tuhan. Sebab kalau haji hanya menjadi perhitungan ekonomi, maka pulangnya kita bukan menjadi haji mabrur, tapi sekadar turis rohani yang membawa oleh-oleh tanpa membawa perubahan diri (***) 

×
Berita Terbaru Update