![]() |
Puisi
Karya: Pebriyan Arisca Pratama
Di kota ini, langit berwarna abu pabrik.
Asap menari di antara jemuran,
dan buruh berjalan tergesa
membawa sisa tenaga semalam.
Upah minimum, ya.
angka kecil di slip gaji
yang tak mampu menampung harga lapar.
Namun setiap akhir bulan,
mereka tetap tersenyum,
seakan hidup adalah janji yang bisa dicicil.
Lihatlah, si anak rantau itu,
meniti nasib di bawah papan reklame
tentang “kemakmuran kota.”
Ia menunda bahagia demi selembar rupiah,
menyulam harapan di kamar kontrakan
yang cat dindingnya turut mengelupas bersama mimpinya.
Sementara di gedung kaca itu,
para penguasa tertawa ringan,
mengucap tentang produktivitas,
tentang efisiensi,
tentang masa depan yang katanya cerah.
Tapi di bawah sana,
masa depan itu bekerja lembur,
dengan tangan yang retak
dan mata yang tak lagi berani menatap pagi.
Mereka memotong sana-sini,
mengatur angka seperti potongan roti,
seolah hukum bisa dibengkokkan
asal tak terlihat kamera.
Legal di atas meja,
tapi disulap di bawahnya.
Slip gaji jadi saksi, tak tahan lagi
bagaimana keadilan disunat
dengan tangan berkepala songkok.
Malam pun turun pelan.
Kopi sachet menghangatkan kesunyian,
doa pelan-pelan diselipkan
antara marah, takut dan pasrah.
“Aku baik-baik saja,”
katanya lewat sambungan internet harian murah,
menipu jarak dan kenyataan
dengan suara yang nyaris patah.

.png)

