Ilustrasi
Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Pemimpin Redaksi Banyuasin Pos
Ada satu tradisi lama di kampung-kampung: kalau ada tetangga yang kurang senang, alih-alih ngomong langsung, ia lebih suka bisik-bisik ke orang lain dulu. Ujung-ujungnya jadi gosip, lalu jadi keributan. Rupanya tradisi ini menular juga ke lembaga sebesar BUMN. Mereka bukannya duduk bareng dengan Menteri Keuangan, malah lebih memilih “ngadu” ke DPR. Seperti anak kecil yang enggan menatap mata ayahnya, tapi berani merengek di hadapan tetangga.
Pak Menteri pun tersinggung. Katanya, beliau bukan sekadar juru bayar. Dan memang benar, masa negara ini dikelola seperti mesin ATM? Tinggal masukkan kartu subsidi, tekan pin kompensasi, lalu keluarlah uang rakyat. Kalau begitu, siapapun bisa jadi menteri. Padahal yang dibutuhkan bangsa ini bukan “juru bayar”, tapi “juru pikir” dan “juru kelola”.
Namun, kalau dipikir-pikir, mungkin memang ada seni tersendiri dalam mengadu. Orang yang mengadu biasanya mencari panggung, mencari perhatian, atau sekadar ingin didengar. Bukankah kita semua kadang begitu? Anak kecil mengadu ke ibunya soal kue yang dimakan kakaknya. Mahasiswa mengadu di jalan soal biaya kuliah. Bahkan rakyat kecil pun setiap hari mengadu lewat doa, meski tidak selalu cepat dijawab.
Bedanya, kalau rakyat yang mengadu, isinya jeritan perut. Kalau pejabat BUMN yang mengadu, isinya jeritan neraca keuangan. Sama-sama jeritan, tapi rasanya jauh. Yang satu butuh beras, yang lain butuh miliaran rupiah kompensasi. Lalu siapa yang lebih dulu layak didengar? Pertanyaan ini mungkin terlalu sederhana, tapi sering terlupakan.
Di titik ini, saya melihat kemarahan Pak Menteri sebagai tanda sehat. Artinya beliau masih mau jaga martabat jabatan, tidak mau diturunkan jadi “kasir agung” negara. Tapi tentu, kemarahan ini jangan berhenti di meja rapat. Ia harus berubah jadi keberanian untuk menata ulang: bagaimana agar BUMN tidak hanya jadi tukang minta, tapi juga bisa jadi tukang memberi bagi rakyatnya.
Dan kita, rakyat kecil, yang tiap bulan bayar listrik dan beli bensin, cuma bisa tersenyum miris. Di panggung atas, ada drama BUMN, subsidi, dan seni mengadu. Di panggung bawah, kita tetap belajar seni yang lebih rumit: seni bertahan hidup, seni menerima keadaan, dan seni berharap suatu hari negeri ini bisa lebih jujur kepada dirinya sendiri (***)