![]() |
| Ilustrasi |
Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Kadang-kadang, cinta yang paling tulus justru tidak berakhir di pelukan, tapi di doa yang tak pernah selesai. Begitulah Aisyah r.a. setelah Rasulullah ﷺ wafat. Ia masih muda, cantik, cerdas, tapi hidupnya berhenti di satu titik: Muhammad ﷺ. Seolah waktu tak lagi berjalan baginya, hanya berputar di sekitar kenangan tentang suami yang pernah membuat dunia menjadi terang.
Orang-orang mengira Aisyah tegar. Ia masih mengajar, meriwayatkan hadis, menjawab pertanyaan umat dengan tenang. Tapi siapa yang tahu, di balik suaranya yang lembut itu, ada rindu yang menua pelan-pelan. Rindu yang tak bisa disampaikan lewat surat, tak bisa diobati oleh waktu, sebab yang dirindukan bukan sekadar manusia, melainkan cahaya.
Kesetiaan Aisyah bukan sekadar setia kepada sosok, tapi kepada makna. Ia menjaga kenangan bukan karena terjebak masa lalu, tapi karena di dalam kenangan itu ada kebenaran yang tak boleh hilang. Ia mencintai Rasulullah ﷺ bukan hanya sebagai suami, tapi sebagai jalan menuju Allah. Maka, cintanya bukan melemahkan, tapi meneguhkan.
Empat puluh tahun ia hidup sendiri. Dunia mungkin berubah, pemimpin berganti, tapi di hati Aisyah, satu nama tetap hidup. Ia tidak pernah menikah lagi karena cinta sejatinya telah mencapai puncak yang tak bisa ditandingi manusia lain. Barangkali, di setiap sujud malamnya, Aisyah masih memanggil pelan: “Ya Rasulullah…”, seperti bisikan yang hanya langit mengerti.
Cinta Aisyah adalah pelajaran bahwa rindu bukan penyakit, tapi jalan pulang. Kesepian bukan hukuman, tapi ruang untuk menemukan kembali makna kehilangan. Ia menunjukkan bahwa cinta sejati tidak menuntut hadirnya raga, karena ruh-ruh yang saling mencintai tidak pernah benar-benar berpisah.
Mungkin, jika hari ini kita merasa sendiri, kita bisa belajar dari Aisyah: bahwa kadang cinta paling murni justru tumbuh dalam sepi. Bahwa mencintai seseorang karena Allah tidak pernah berakhir di dunia. Ia terus hidup, bahkan ketika waktu sudah berhenti (***)



