Notification

×

Iklan

Iklan

Tradisi Cepangan: Cara Orang Melayu Banyuasin Memberi Identitas

Selasa, 23 September 2025 | 06.49 WIB | 0 Views Last Updated 2025-09-22T23:49:00Z
Ilustrasi 

Oleh: Irwan P. Ratu Bangsawan

Orang Melayu Banyuasin di Sumatera Selatan punya cara unik untuk menyebut dan mengenali satu sama lain. Selain nama resmi, mereka kerap menambahkan sebutan khusus di belakang nama. Julukan ini lahir dari kebiasaan, pekerjaan, atau sifat yang menonjol pada diri seseorang. Tradisi tersebut dikenal dengan istilah cepangan.


Menariknya, tidak ada aturan baku dalam memberi cepangan. Ia muncul begitu saja dari interaksi sehari-hari. Julukan bisa muncul karena pekerjaan, pengalaman, atau bahkan sekadar kebiasaan kecil yang mencolok.


Misalnya, seorang lelaki bernama Ujang yang berprofesi sebagai calo tanah akan akrab dipanggil Ujang Calo’. Begitu pula Ahmad, yang bertugas sebagai marbot masjid, mendapat panggilan Mad Marbot. Cepangan ini menempel begitu kuat hingga sering kali lebih dikenal daripada nama asli.


Tradisi ini tak terbatas pada orang dewasa. Anak-anak pun kerap mendapat cepangan. Seorang gadis kecil yang gemar memakai baju merah bisa dijuluki Si Merah. Anak lelaki yang hobi bermain bola dipanggil Si Bola. Julukan itu bukan sekadar panggilan, melainkan bentuk keakraban yang mencerminkan cara masyarakat saling mengenal.


Bagi orang Melayu Banyuasin, cepangan menyimpan arti lebih dalam. Ia bukan sekadar nama tambahan, melainkan tanda diterimanya seseorang dalam lingkaran sosial. Cepangan menumbuhkan rasa kebersamaan sekaligus mengikat hubungan sosial.


Kadang, cepangan bahkan bisa menjadi penanda keluarga atau kerabat. Jika dalam sebuah keluarga ada yang memakai sebutan sama, itu memperlihatkan ikatan solidaritas yang kuat di antara mereka.


Namun, seiring perubahan zaman, tradisi ini mulai bergeser. Banyak orang kini lebih memilih menggunakan nama resmi saja. Pengaruh budaya luar dan berkurangnya pemahaman generasi muda membuat sebagian masyarakat perlahan meninggalkan kebiasaan ini.


Meski demikian, tidak sedikit yang tetap setia menjaga tradisi. Dalam acara-acara adat, seperti pernikahan, keberadaan cepangan masih dianggap penting. Seseorang tanpa cepangan justru dipandang seperti kehilangan satu bagian identitasnya.


Selain itu, cepangan juga punya nilai edukasi. Dari julukan ini, generasi muda bisa belajar mengenali cerita di balik nama orang-orang di sekitarnya: pekerjaan, kebiasaan, atau peristiwa hidup. Dengan begitu, mereka tidak hanya mengingat nama, tetapi juga memahami perjalanan seseorang dalam masyarakat.


Tentu, ada hal yang perlu dicatat: tidak semua orang nyaman dengan julukan tertentu. Jika cepangan berkonotasi negatif, ia bisa menyinggung perasaan. Karena itu, tradisi ini tetap harus dijalankan dengan rasa hormat dan persetujuan dari yang bersangkutan.


Di era digital, tradisi ini pun bertransformasi. Banyak anak muda yang memakai cepangan sebagai nama akun media sosial. Dari sini terlihat bahwa meski dunia berubah, cepangan tetap menemukan cara untuk bertahan (***) 

×
Berita Terbaru Update