![]() |
Muhammad Qodari |
Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Pemimpin Redaksi Banyuasin Pos
Negeri ini gemar sekali membentuk lembaga. Ada masalah gizi, lahirlah Badan Gizi Nasional (BGN). Urusan koordinasi, muncul Kantor Staf Presiden (KSP). Kalau butuh ketertiban, dibuat lagi satuan-satuan pelaksana. Seakan-akan makin banyak akronim, makin sedikit masalah. Padahal, sering justru kebalikannya.
Beberapa hari terakhir, publik terkejut dengan kasus keracunan massal dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG). Alih-alih menyehatkan, ratusan anak justru dilarikan ke rumah sakit. Di tengah situasi itu, Kepala KSP, Muhammad Qodari, angkat bicara. Ia menilai BGN perlu membenahi mekanisme, kelembagaan, hingga kerja lapangan.
Pertanyaannya: etiskah seorang Kepala KSP memberi penilaian langsung kepada lembaga negara lain? Setiap lembaga punya garis koordinasi dan tanggung jawabnya. Jika KSP menegur BGN di depan publik, bukankah itu ibarat orang tua menegur anak tetangga di teras rumah, sementara orang tua kandungnya sendiri ada di dalam?
Saya tidak bermaksud membela BGN. Mereka jelas harus bertanggung jawab penuh. Tetapi dalam tata kelola negara, ada etika yang mesti dijaga. Kalau semua pejabat bebas mengoreksi sesamanya di panggung terbuka, rakyat akan semakin bingung: siapa sebenarnya yang memimpin, siapa yang mengawasi, dan siapa yang bekerja?
Yang rakyat butuhkan sederhana saja: anak-anak bisa makan dengan aman. Tidak penting baginya siapa yang lebih tinggi, KSP atau BGN. Yang penting, tidak ada lagi anak muntah-muntah gara-gara program yang katanya "bergizi". Rakyat tidak butuh drama antar pejabat, mereka butuh kepastian dan tanggung jawab nyata.
Bayangkan sebuah orkestra: ada konduktor, ada pemain biola, ada tiupan seruling. Kalau semua merasa berhak memimpin lagu, yang lahir bukan musik, melainkan kegaduhan. Evaluasi memang perlu, tetapi sebaiknya dilakukan dengan rendah hati, dengan menghormati tata krama kelembagaan, tanpa menjadikan rakyat penonton kebingungan.
Maka, pertanyaan tetap sama: pantaskah KSP menegur BGN di ruang publik? Kalau tujuannya murni memperbaiki, mestinya ada jalur komunikasi yang lebih bijak, lebih tertutup, dan lebih elegan. Tapi jika sekadar ingin menunjukkan siapa yang paling berkuasa, itu hanya mengulang penyakit lama negeri ini: ego kelembagaan.
Sementara itu, anak-anak sekolah masih lapar. Dan para orang tua, entah di Banyuasin, Garut, atau kota lainnya, hanya bisa berpesan lirih: "Tolong jaga anak-anak kami, jangan sampai jadi korban percobaan kebijakan." (***)