![]() |
Ilustrasi Bekarang |
Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Di antara banyaknya tradisi yang hidup di Nusantara, Orang Melayu Banyuasin memiliki cara khas dalam berinteraksi dengan alam sekaligus menjaga ikatan sosial: tradisi bekarang. Aktivitas ini biasanya dilakukan di musim kemarau, saat aliran sungai kecil mulai surut. Caranya cukup sederhana—air sungai yang dangkal dibuat keruh dengan cara diaduk, sehingga ikan-ikan di dalamnya menjadi pusing dan mudah ditangkap.
Yang menarik, ikan-ikan itu tidak ditangkap dengan jaring atau alat canggih, melainkan hanya dengan tangan kosong. Ada rasa puas tersendiri ketika berhasil menggenggam seekor ikan yang muncul dari keruhnya air. Tak heran jika kegiatan ini selalu ramai diikuti, baik oleh orang tua maupun anak muda, semuanya larut dalam suasana penuh tawa dan semangat.
Namun bekarang bukan semata urusan mencari ikan untuk dimakan. Lebih dari itu, ia menjadi ruang pertemuan warga. Di sungai, orang-orang saling membantu, saling berbagi trik, dan bekerja sama agar hasil tangkapan melimpah. Dalam proses itulah keakraban tercipta, memperkuat rasa kebersamaan yang sejak lama menjadi napas kehidupan masyarakat Melayu Banyuasin.
Tradisi ini juga sarat dengan nilai budaya. Sebelum kegiatan dimulai, biasanya ada permintaan izin kepada pemangku adat setempat. Hal itu menandakan bahwa bekarang tidak hanya soal alam, tetapi juga menyangkut penghormatan pada aturan adat yang diwariskan turun-temurun. Setelah selesai, ikan yang didapat pun tak hanya dinikmati sendiri, melainkan dibagi-bagikan kepada warga sekitar—sebuah wujud nyata dari semangat gotong royong dan kepedulian sosial.
Meski tampak sederhana, bekarang menyimpan makna yang dalam. Ia adalah identitas, jejak sejarah, sekaligus warisan berharga yang perlu terus dijaga. Semoga generasi muda Banyuasin tetap melihat tradisi ini bukan hanya sebagai cara menangkap ikan, melainkan juga sebagai pengingat bahwa kebersamaan dan kepedulian selalu menjadi dasar dari kehidupan bermasyarakat (***)