Notification

×

Iklan

Iklan

Rp 200 Triliun Itu Obat Ekonomi atau Cuma Pereda Sakit Kepala?

Senin, 15 September 2025 | 12.10 WIB | 0 Views Last Updated 2025-09-15T05:10:32Z
Ilustrasi

Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan 
Pemimpin Redaksi Banyuasin Pos 

Uang, kata orang, adalah alat tukar. Tapi di negeri kita, uang juga bisa jadi alat tukar wacana, alat tukar janji, bahkan alat tukar ilusi. Pemerintah mengucurkan Rp 200 triliun ke bank-bank Himbara, katanya demi menjaga likuiditas, mendorong kredit, dan menyelamatkan ekonomi. Lalu kita bertanya: apakah uang sebesar itu benar-benar obat untuk menyembuhkan badan ekonomi yang letih, atau hanya sekadar aspirin yang bikin rasa sakitnya ditunda sebentar?


Bayangkan tubuh kita lagi demam. Dokter kasih obat penurun panas, panasnya reda, tapi penyakit aslinya belum tentu sembuh. Kira-kira begitulah wajah kebijakan ini. Bank Himbara memang dapat darah segar, bisa bernafas lega, tapi apakah pasar tradisional, warung kelontong, dan tukang bakso di ujung gang juga ikut merasakan segarnya? Atau jangan-jangan mereka tetap ngos-ngosan, hanya saja gosip soal Rp 200 triliun membuat mereka sejenak lupa rasa lapar?


Yang lebih lucu, rakyat sering dijadikan penonton di tribun. Kita diminta ikut bertepuk tangan, seolah transfer dana antar-lembaga negara itu otomatis menjelma jadi harga cabai yang turun. Padahal, jarak antara bank jumbo dengan dompet ibu-ibu yang belanja sayur di pasar itu seperti jarak bulan dengan lampu jalan: sama-sama bersinar, tapi panasnya tak pernah sampai ke kulit.


Menurut logika pejabat, uang yang masuk ke bank nanti akan dialirkan jadi kredit usaha, investasi, dan seterusnya. Tapi kita tahu, logika pasar kadang lebih galak daripada logika negara. Bank juga seperti manusia, ia mencari untung, ia mengukur risiko. Maka bisa jadi Rp 200 triliun itu tidak semua mampir ke warung kopi kecil, melainkan berputar di lingkaran orang-orang yang sejak awal sudah punya akses dan kuasa.


Kalau begitu, kita sebagai rakyat kecil boleh dong sedikit cerewet. Kalau memang Rp 200 triliun itu obat, maka obatnya harus sampai ke pasien yang benar-benar sakit, bukan cuma ke apotek besar yang stoknya sudah menumpuk. Kalau cuma jadi pereda sakit kepala, efeknya sebentar, nanti kambuh lagi, lalu kita kembali mengemis obat dengan harga yang lebih mahal.


Singkat kata, kita belajar satu hal: uang negara itu bukan sekadar angka di kertas, melainkan urat nadi kehidupan bersama. Kalau alirannya macet di tengah jalan, rakyat kecil tetap pusing tujuh keliling. Maka bolehlah kita tanya dengan nada polos tapi tajam: Rp 200 triliun itu, obat untuk bangsa atau sekadar plester luka supaya kita tidak ribut dulu? (***) 

×
Berita Terbaru Update