![]() |
Ilustrasi |
Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Pemimpin Redaksi Banyuasin Pos
Belum sehari duduk di kursi Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa sudah bikin gaduh. Ucapannya yang menyebut tuntutan 17+8 hanyalah suara “sebagian kecil rakyat” membuat banyak orang geleng-geleng kepala. Lebih jauh lagi, ia berjanji kalau pertumbuhan ekonomi tembus 6 atau 7 persen, rakyat otomatis berhenti demo, sibuk kerja, dan makan enak. Kedengarannya manis, tapi kenyataannya pahit di lidah rakyat kecil.
Coba kita renungkan. Apakah betul orang-orang yang turun ke jalan itu sekadar pengangguran yang cari ribut? Kalau benar begitu, kenapa mereka rela dipukul, ditangkap, bahkan ada yang kehilangan nyawa? Mereka bukan lapar angka, Pak Menteri. Mereka lapar keadilan. Mereka lapar ruang untuk bersuara tanpa dibungkam.
Orang kecil tidak pernah pusing soal grafik ekonomi yang naik-turun. Mereka lebih pusing kalau harga beras naik seribu rupiah. Mereka tidak peduli janji 7 persen kalau di rumah dapurnya tetap kosong. Sebab yang bikin hidup bertahan bukan angka-angka dalam pidato pejabat, tapi nasi putih dan lauk sederhana yang nyata di meja makan.
Pernyataan bahwa “suara rakyat hanyalah sebagian kecil” itu seperti menyiram garam di luka. Rakyat yang bersuara dianggap kecil, sementara yang diam seolah tidak ada masalah. Padahal yang diam itu seringkali karena sudah kelelahan, atau takut. Kalau suara kecil diabaikan, tunggulah sampai ia menggema jadi teriakan besar yang mengguncang.
Lucunya, janji bahwa demo akan hilang kalau ekonomi naik itu mirip dokter yang bilang, “Sakitmu akan hilang kalau kamu sembuh.” Ya jelas. Tapi rakyat butuh jawaban: bagaimana caranya nasi bisa lebih murah, upah tidak dipangkas, dan hidup tidak semakin sesak? Itu yang mestinya dijawab seorang Menteri Keuangan, bukan sekadar angka di kertas.
Maka, wahai Pak Menteri, berhati-hatilah dengan lidah. Sebab kadang ucapan lebih tajam daripada kebijakan. Rakyat tidak butuh dihitung sebagai kecil atau besar. Rakyat hanya ingin dianggap ada. Angka bisa ditambah dan dikurangi, tapi nasi di meja rakyat tidak bisa dimanipulasi (***)