![]() |
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa |
Langkah ini dimaksudkan untuk memberi napas segar bagi perekonomian melalui penyaluran kredit. Namun, kebijakan berani tersebut sekaligus menimbulkan tanda tanya besar: mengapa langkah ini tidak pernah ditempuh pendahulunya, Sri Mulyani Indrawati?
Di media sosial, respons masyarakat pun bermunculan. Banyak yang mencoba membandingkan gaya dua tokoh penting ini. Ada yang menilai Sri Mulyani lebih berhati-hati, sementara Purbaya terkesan ingin cepat menggerakkan roda ekonomi. Bahkan, beberapa komentar bernada satir, seolah ingin menggambarkan perbedaan karakter keduanya dalam mengelola keuangan negara.
Direktur Eksekutif Center of Economic Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai keputusan Purbaya bukan sekadar soal strategi berbeda, melainkan cara melihat risiko. Ia mengingatkan, pada masa pandemi, Sri Mulyani pernah menghadapi dilema serupa saat mengambil kebijakan burden sharing. “Ketika uang beredar terlalu besar, risiko inflasi meningkat. Selain itu, kepercayaan investor juga bisa menurun karena independensi Bank Indonesia ikut tergerus,” jelas Bhima, Sabtu (13/9/2025).
Menurutnya, kucuran dana ke Himbara bisa membuat bank memiliki “uang kaget”, tetapi permintaan kredit belum tentu meningkat. “Daya beli sedang melemah, pengusaha juga ragu untuk pinjam uang. Kalau dipaksakan, justru ada risiko bank menyalurkan kredit ke sektor berisiko tinggi,” tambahnya. Bhima juga mengingatkan bahwa indikator kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) bisa naik jika tidak diantisipasi.
Meski demikian, sebagian pihak menilai kebijakan ini bisa menjadi momentum bagi pemerintah untuk mendorong sektor riil. Namun, keberhasilannya tetap sangat bergantung pada kondisi lapangan, terutama daya beli masyarakat yang saat ini sedang menurun.
Kini, publik menunggu apakah gebrakan Rp 200 triliun ini akan benar-benar menjadi mesin penggerak ekonomi atau justru meninggalkan persoalan baru. Dalam situasi ekonomi yang penuh ketidakpastian, setiap langkah pemerintah selalu ditunggu, ditimbang, bahkan dikritisi. Bagi masyarakat, yang paling penting sebenarnya sederhana: kebijakan apapun di pusat, harapannya bisa membawa dampak nyata hingga ke daerah, termasuk di Banyuasin. Sebab, pada akhirnya, rakyat menanti apakah uang yang bergerak di atas kertas benar-benar bisa dirasakan dalam kehidupan sehari-hari (***)