Notification

×

Iklan

Iklan

Nagari Taluk: Menyusuri Jejak Budaya dan Kehidupan Sehari-hari

Rabu, 03 September 2025 | 21.28 WIB | 0 Views Last Updated 2025-09-03T14:28:50Z

 

Dokumentasi penulis ketika malam puncak pelepasan Mahasiswa KKN ISI Padang Panjang,
 di Nagari Taluak, Kec. Lintau Buo, Kab. Tanah Datar (20/08/25). Foto: Engga Lestari 

Oleh: Engga Lestari

(Mahasiswa Antropologi Budaya ISI Padang Panjang)


Kabut tipis bergelayut di atas hamparan sawah Nagari Taluk, membalut batang-batang padi yang masih basah oleh embun pagi. Di sudut pematang yang sempit, seorang petani tua membungkuk perlahan-lahan, tangannya memetik rumput liar yang tumbuh di sela padi, menjaga napas tanah yang menjadi sumber hidupnya. Di kejauhan, anak-anak berlarian menuju sekolah dengan seragam putih-merah yang kontras dengan tanah basah.


Suasana pagi itu bukan sekadar fenomena alam; ia mencerminkan denyut kehidupan yang terus berulang. Suara kokok ayam, aliran Sungai Sinamar yang tak berhenti mengalir, dan aroma kopi di beranda rumah gadang membentuk harmoni keseharian warga Taluk. Mereka hidup dalam irama yang diwariskan oleh leluhur—pertanian, adat, dan bahasa yang merekatkan komunitas.


Nagari Taluk, seluas sekitar 2.250 hektare dan terbagi empat jorong, menjadi pintu timur Luhak Nan Tuo. Meski data penduduk mencatat sekitar enam ribu jiwa, banyak yang merantau, meninggalkan rumah namun tidak pernah benar-benar lepas dari ikatan. Taluk adalah rumah yang tak pernah benar-benar ditinggalkan, meski jarak memisahkan.


Tanah di Taluk, dengan ketinggian sekitar 600 meter di atas permukaan laut, memberi suhu sejuk, ideal untuk pertanian dan perkebunan. Namun di balik kesuburan itu, perubahan perlahan terjadi. Irigasi terbatas, sebagian lahan kurang terolah, dan generasi muda makin enggan bertani. “Mereka lebih suka ke kota,” kata seorang ninik mamak sambil menyesap kopi, ucapan yang sarat keprihatinan namun juga penerimaan perubahan yang tak terelakkan.


Bahasa menjadi jantung lain budaya Taluk. Dalam percakapan sehari-hari, dialek khas Taluk kental terasa, mengalir dalam tawa, petuah, dan candaan. Bahasa ini lebih dari alat komunikasi; ia medium pewarisan pengetahuan nenek moyang—mengenali tanda alam, menentukan waktu tanam, dan memilih benih terbaik, yang diwariskan turun-temurun.


Keutuhan sosial Taluk dijaga oleh sistem matrilineal, di mana kaum ibu memegang garis keturunan dan ninik mamak berperan sentral dalam keputusan adat. Musyawarah Kerapatan Adat Nagari (KAN) jadi arena di mana adat dan syariat Islam berpadu, menguatkan falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.


Seni tradisi seperti randai dan silek masih hidup, jadi ruang ekspresi kolektif dan pembelajaran kaum muda. Namun media sosial dan gawai mulai menggeser waktu dan minat mereka, menghadirkan tantangan baru pelestarian budaya.


Nagari Taluk kini bergerak di persimpangan waktu dan perubahan, mencari keseimbangan antara warisan leluhur dan tuntutan modern. Seperti aliran Sungai Sinamar yang abadi, kehidupan nagari terus mengalir, berupaya menjaga akar budaya tetap kokoh sembari menatap masa depan.(Engga Lestari)

×
Berita Terbaru Update