![]() |
Ilustrasi |
Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Pemimpin Redaksi Banyuasin Pos
Kalau bicara soal Menteri Keuangan, biasanya yang terbayang adalah angka-angka, tabel panjang, dan istilah yang bikin kepala rakyat jelata cepat pening. Namun, ketika mendengar nama Purbaya Yudhi Sadewa disebut sebagai pejabat yang duduk di kursi itu, saya justru teringat sebuah obrolan di warung kopi: “Mau menteri lama atau menteri baru, buat rakyat kecil yang penting cuma satu: harga cabai jangan sampai bikin jantungan.” Kalimat sederhana itu terasa jauh lebih jujur ketimbang rangkaian konferensi pers yang penuh istilah rumit.
Purbaya datang dengan segala gelarnya, riwayat akademiknya, dan pengalaman teknokratiknya. Bagus. Tetapi, urusan rakyat ini tidak bisa dibereskan hanya dengan gelar. Karena rakyat tidak makan teori. Mereka makan nasi, tempe, dan cabai rawit. Maka pertanyaan mendasar: bisakah Purbaya menghadirkan keadilan di meja makan orang miskin, bukan sekadar keseimbangan di neraca negara?
Menjadi Menteri Keuangan itu, ibarat jadi imam dalam shalat jamaah. Orang di belakang tidak selalu tahu apa yang dibaca imam, tapi semua butuh diyakinkan kalau arah kiblatnya benar. Begitu juga dengan kebijakan fiskal: rakyat mungkin tak paham apa itu “defisit 2,5 persen” atau “yield obligasi”, tapi mereka tahu ketika anaknya bisa sekolah tanpa utang, atau ketika harga minyak goreng tak bikin mereka harus puasa Senin-Kamis tanpa niat.
Kita, rakyat kecil ini, tidak butuh menteri yang pandai merapikan laporan. Kita butuh menteri yang pandai mendengar keluhan. Kalau semua urusan hanya diselesaikan dengan angka, maka manusia hanya akan jadi catatan kaki di APBN. Padahal, bukankah inti dari ekonomi itu adalah manusia? Bukankah uang negara itu berasal dari keringat rakyat, bukan dari kolom dan baris excel?
Maka, kritik kepada Purbaya bukanlah untuk menjatuhkan. Justru sebaliknya: agar beliau tidak terjebak jadi akuntan negara, yang sibuk menulis neraca tapi lupa menulis wajah rakyat. Kita ingin Purbaya berani menggeser paradigma: dari “mengamankan angka” menjadi “menghidupkan manusia.” Itu yang membedakan pemimpin dari sekadar pejabat.
Jadi, harapan pada Purbaya jangan dianggap main-main. Harapan itu lahir dari perut yang lapar, dari ibu-ibu yang gelisah di pasar, dari anak-anak muda yang sudah terlalu sering mendengar kata “kesempatan” tapi tak pernah mendapatkannya. Kalau Purbaya bisa mendengar suara itu, maka ia benar-benar Menteri Keuangan rakyat. Kalau tidak, ia hanya akan jadi bab tambahan dalam sejarah, yang cepat dilupakan begitu harga cabai kembali naik (***)