Notification

×

Iklan

Iklan

Krisis Kepercayaan Masyarakat terhadap Omongan Pejabat Publik

Selasa, 02 September 2025 | 21.23 WIB | 0 Views Last Updated 2025-09-02T14:25:46Z

ilustrasi 

Oleh: Pebriyan Arisca Pratama 

Opini, Banyuasin Pos — Sebagai wakil rakyat dan figur publik, mereka seharusnya menjadi teladan dalam menjaga integritas dan kejujuran. Namun, ketika muncul kritikan masyarakat, malah dianggap seolah "angin lalu", respons yang diberikan sering kali terkesan terburu-buru, kurang elok terdengar atau bisa disebut minim empati. Omongan yang tidak jelas dan komunikasi yang tidak efektif justru membuat masyarakat merasa diabaikan dan semakin kehilangan kepercayaan. Rasa kecewa yang sudah ada berubah menjadi kemarahan yang sulit diredam.


Dari sudut pandang teori sosial politik, fenomena ini dapat dianalisis melalui konsep legitimasi dan kepercayaan sosial yang dikemukakan oleh Max Weber dan Niklas Luhmann. Weber menegaskan bahwa legitimasi kekuasaan sangat bergantung pada persepsi masyarakat terhadap keabsahan dan konsistensi omongan para penguasa. 


Ketika pejabat publik gagal menunjukkan integritas dan kejujuran dalam perkataan dan tindakannya, maka legitimasi yang melekat pada mereka bisa pudar. Akibatnya, masyarakat merasa berhak mengekspresikan ketidakpuasan, bahkan melalui tindakan unjuk rasa atau penjarahan sebagai bentuk perlawanan yang bar-bar terhadap ketidakadilan.


Sementara itu, Luhmann menyoroti pentingnya kepercayaan sebagai mekanisme sosial yang memungkinkan interaksi berjalan lancar. Ketika kepercayaan terhadap omongan pejabat publik menipis akibat komunikasi yang "engga nyambung" dan tidak empatik dihati masyarakat, tentu akan bergejolak dan mengalami fase krisis kepercayaan yang memicu ketidakstabilan sosial. Dalam konteks ini, komunikasi publik yang rumpang dan terkesan tidak tulus memperparah jurang curam antara pejabat dan rakyat.


Omongan pejabat publik sepatutnya bukan omong kosong, melainkan cerminan sikap profesional dan komitmen mereka kepada masyarakat. Dalam situasi krisis, kejujuran, keterbukaan dan rasa empati dalam berkomunikasi adalah kunci utama untuk membangun kembali kepercayaan. Jika tokoh publik mampu mengakui kesalahan, menjelaskan langkah perbaikan, dan menunjukkan integritas dan komitmen untuk berubah, maka kemarahan masyarakat bisa sedikit demi sedikit mereda.


Namun, jika omongan hanya sebatas formalitas tanpa dibersamai tindakan nyata dan sentuhan kemanusiaan, maka jurang  curam antara pejabat dan rakyat akan semakin dalam dan lebar. Ini bukan hanya soal menjaga citra, tapi soal tanggung jawab moral yang harus diemban oleh mereka yang dipercaya untuk berkuasa dan mewakili suara rakyat.


Peristiwa demonstrasi yang terjadi ini harus menjadi momentum bagi seluruh pejabat publik untuk introspeksi dan memperbaiki cara mereka berkomunikasi. Masyarakat butuh kejelasan, keadilan, dan rasa dihargai. Dengan omongan yang lebih jujur dan komunikasi yang lebih baik, kita tidak hanya meredam kemarahan, tetapi juga membangun kembali kepercayaan publik.(***)

×
Berita Terbaru Update