Notification

×

Iklan

Iklan

Asosiasi Antropologi Indonesia Tolak Kekerasan dan Serukan Dialog Luas untuk Perdamaian

Selasa, 02 September 2025 | 21.54 WIB | 0 Views Last Updated 2025-09-03T00:42:26Z

Jakarta, Banyuasin Pos– Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) mengeluarkan seruan resmi yang menolak segala bentuk kekerasan dalam unjuk rasa dan situasi sosial-politik terkini. Dalam surat seruan bernomor 108/IX/AAI/2025, AAI menyampaikan duka cita mendalam atas korban jiwa yang gugur dari kalangan peserta demonstrasi maupun masyarakat yang terdampak kerusuhan. Organisasi ini menegaskan pentingnya penghargaan terhadap setiap suara rakyat dan perlindungan terhadap nyawa manusia dari segala bentuk kekerasan.


Gelombang unjuk rasa yang merebak di berbagai kota bukanlah fenomena tiba-tiba, melainkan akumulasi kekecewaan masyarakat atas kebijakan yang dianggap jauh dari rasa keadilan. Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen, lonjakan fantastis Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di sejumlah daerah, revisi UU TNI, serta pembahasan RUU KUHAP tanpa partisipasi masyarakat secara bermakna, telah memperdalam jurang ketidakpercayaan publik. 


Pada saat janji pemerintah menciptakan 19 juta lapangan kerja tak terbukti, masyarakat justru menghadapi pengangguran tinggi, pemutusan hubungan kerja secara massal, dan beban hidup yang kian berat tanpa solusi nyata.


Penderitaan warga di lokasi Proyek Strategis Nasional (PSN) juga kian parah. Pemerintah dan DPR dinilai tidak serius memperhatikan kesulitan masyarakat di pedesaan, khususnya di lokasi PSN. Penggusuran paksa merampas ruang hidup masyarakat, sekaligus merusak dan mencemari lingkungan sekitar. Mereka yang berjuang menuntut hak malah sering dihadapkan pada teror, kekerasan aparat, dan kriminalisasi. Kasus-kasus ini memperlihatkan bagaimana kepentingan oligarki lebih dijaga ketimbang nasib rakyat biasa.


Kerusuhan dan perusakan fasilitas publik yang terjadi kerap kali tidak berdiri sendiri. Perusakan fasilitas publik, termasuk penjarahan, bukan hanya menimpa rumah pribadi dan lokasi bisnis, tetapi juga menyasar kelompok etnik tertentu serta artefak museum di Jawa Timur. Sebagian tindakan itu dilakukan oleh kelompok yang berniat kriminal. Namun, publik juga mencurigai adanya rekayasa untuk mendiskreditkan gerakan sipil, sebagaimana terkuak dalam investigasi kasus pembakaran halte Sarinah pada Oktober 2020 yang menunjukkan indikasi keterlibatan aparat. 


Pola serupa kembali muncul dalam unjuk rasa terakhir, yang semakin memperkuat keyakinan bahwa aparat justru kerap memperkeruh situasi alih-alih meredakannya. Berbagai pandangan netizen turut menguatkan kecurigaan publik bahwa polisi bukanlah pihak yang dapat dipercaya menjaga ketertiban secara adil.


Dari perspektif antropologi, kekerasan yang muncul seringkali dapat dimaknai sebagai simbol kekuatan kolektif ketika masyarakat merasa suara dan keprihatinan mereka selama ini tidak didengar, yang akhirnya meledak dalam aksi spontan yang penuh energi emosional. Di sisi lain, polisi menggunakan kekerasan sebagai simbol kekuasaan untuk memaksakan kepatuhan dengan cara menyebarkan ketakutan. Praktik ini dianggap normal dan mencerminkan kekerasan struktural yang menjadi bagian dari kelembagaan kepolisian saat ini.


Hak menyampaikan pendapat dijamin oleh konstitusi dan harus berlangsung tanpa kekerasan. Pemerintah wajib membuka ruang aman bagi rakyat untuk bersuara, membangun dialog terbuka dan adil, serta mengelola perbedaan dengan pendekatan persuasif. Hanya dengan langkah ini kepercayaan publik bisa dipulihkan dan siklus kekerasan dapat dihentikan.


AAI kemudian mengajukan sejumlah tuntutan penting, antara lain:


  • Presiden Prabowo harus membuka dialog luas dengan publik, termasuk mendengarkan suara akademisi, organisasi profesi, LSM, mahasiswa, masyarakat adat, petani, nelayan, perempuan, penyandang disabilitas, buruh, dan kelompok masyarakat lainnya agar kebijakan pemerintah tidak bias dan mampu menjawab kepentingan publik secara adil.


  • Pembentukan Tim Independen yang kredibel, melibatkan Komnas HAM, YLBHI, dan pihak lain yang dipercaya publik untuk menelusuri akar masalah dan merumuskan langkah perbaikan fundamental, bukan sekadar memadamkan konflik sementara.


  • DPR, MPR, dan DPD wajib menjalankan transparansi penuh dalam pelaporan dana dan penggunaan anggaran serta memastikan pembahasan undang-undang melibatkan partisipasi publik secara bermakna.


  • Partai politik harus melakukan reformasi mendasar agar benar-benar menjadi wakil rakyat, bukan alat kepentingan elit dan oligarki.


  • Lembaga kepolisian direformasi secara menyeluruh, mengakhiri praktik abuse of power, dan melarang penggunaan peluru tajam, gas air mata, serta pentungan dalam penanganan aksi.


  • Pembebasan pengunjuk rasa dari intimidasi dan kriminalisasi, menjamin hak mereka mendapat perlindungan hukum dan bebas dari kekerasan aparat.


  • Menolak penetapan darurat militer yang hanya akan memperkeruh ketegangan dan mempersempit ruang demokrasi.


  • Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) harus menjamin keterbukaan informasi, perlindungan terhadap jurnalis dan citizen journalism, serta memperkuat literasi digital masyarakat untuk melawan hoaks dan misinformasi.


  • Masyarakat diharapkan menjaga sikap kritis, saling menahan diri, dan waspada terhadap provokasi yang memecah belah berdasarkan identitas etnik atau agama.


  • Penyelenggara negara di semua lembaga diimbau menjadi teladan dengan gaya hidup bersahaja, berempati pada kesulitan rakyat, dan memastikan penggunaan anggaran negara yang bertanggung jawab dengan prioritas kebutuhan pokok masyarakat.


AAI berharap langkah-langkah ini dapat memulihkan kepercayaan publik dan mengakhiri siklus kekerasan demi terciptanya masyarakat yang adil dan damai di Indonesia.(***)


Jakarta, 1 September 2025

Asosiasi Antropologi Indonesia

×
Berita Terbaru Update