Notification

×

Iklan

Iklan

Fadli Zon dan “Lupa Sejarah”

Jumat, 12 September 2025 | 06.00 WIB | 0 Views Last Updated 2025-09-11T23:00:00Z
Ilustrasi
 
Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan

Pemimpin Redaksi Banyuasin Pos


Ada satu hal yang sering luput dari perhatian kita ketika berbicara tentang sejarah: bahwa sejarah itu bukan hanya angka, catatan, dan laporan resmi. Sejarah juga adalah ingatan kolektif, rasa sakit yang menempel di dada, serta air mata yang mungkin masih menetes diam-diam hingga hari ini. Maka ketika seorang pejabat negara dengan enteng mengomentari peristiwa traumatis, sesungguhnya ia tidak sedang bermain-main dengan teori akademik, tetapi sedang menyentuh luka yang belum benar-benar kering.


Saya jadi teringat pada ungkapan orangtua di kampung: “Mulutmu harimaumu.” Di ruang politik, harimau itu bisa berubah menjadi monster yang mencakar batin orang banyak. Kata-kata pejabat bukan sekadar pendapat pribadi. Ia punya bobot, punya gema, dan bisa menimbulkan luka berganda bagi mereka yang dulu menjadi korban. Kalau kita tidak hati-hati, sejarah yang pahit bisa berubah menjadi bahan olok-olok, seolah tidak pernah ada nyawa dan martabat manusia yang tercabik di sana.


Perdebatan akademik soal istilah “massal” atau tidak, soal angka dan data, tentu penting di ruang kajian. Tetapi mari kita jujur, apa gunanya bagi para ibu, anak, dan keluarga yang sudah kehilangan harga diri dan harapan pada tahun 1998? Bagi mereka, satu kejadian saja sudah cukup untuk membuat dunia runtuh. Maka, membantah atau mengurangi bobot penderitaan itu sama saja dengan menolak kenyataan bahwa luka itu pernah ada.


Saya kira, gugatan masyarakat sipil ke PTUN bukan sekadar soal hukum. Ia adalah simbol. Simbol bahwa ada orang-orang yang tidak rela sejarah dihapus dengan satu kalimat. Bahwa ada sekelompok warga yang mau berdiri tegak dan berkata: “Tunggu dulu, jangan sembarangan bicara soal luka orang lain.” Gugatan ini bisa saja kalah atau menang secara hukum, tetapi ia sudah menang lebih dulu di hati mereka yang percaya bahwa empati tidak boleh dikalahkan oleh retorika politik.

Fadli Zon mungkin merasa ia sedang menjalankan tugas intelektual: mengkritisi data, mempertanyakan istilah. Tetapi ada kalanya kecerdasan akademik perlu ditundukkan oleh kebijaksanaan hati. Tidak semua hal harus diseret ke meja statistik dan perdebatan ilmiah. Ada ruang lain yang lebih sunyi, tempat luka para korban masih berdiam. Ruang itu tidak bisa disentuh dengan angka, hanya bisa dijangkau dengan kesediaan untuk mendengar dan merasakan.

Sejarah, pada akhirnya, bukan sekadar apa yang tertulis di buku. Ia hidup di tubuh manusia, di ingatan mereka yang pernah menjadi saksi, di keluarga yang ditinggalkan. Dan ketika seorang pejabat tergelincir lidah, luka itu bisa terbuka kembali. Maka marilah kita belajar dari peristiwa ini: berhati-hatilah dengan kata. Karena kata bukan hanya bunyi, tapi bisa menjadi doa, bisa juga menjadi duri (***) 

×
Berita Terbaru Update