![]() |
Ferry Irwandi dan Freddy Ardianzah |
Pemimpin Redaksi Banyuasin Pos
Kita sering membayangkan perdamaian itu rumit, harus ada meja panjang, mikrofon berjejer, wartawan berdesakan, dan protokoler yang ketat. Padahal, contoh sederhana sudah diberikan: seorang jenderal TNI dan seorang aktivis bisa memilih jalan telepon. Tidak ada kamera, tidak ada pencitraan, hanya suara yang masuk ke telinga, lalu hati yang pelan-pelan melunak. Begitu saja.
Yang membuat damai terasa ribet sebenarnya bukan substansi masalahnya, melainkan ego kita sendiri. Ego itu seperti batu besar yang diletakkan di tengah jalan—semakin lama dibiarkan, semakin menghalangi siapa pun untuk lewat. Freddy Ardianzah (Kapuspen TNI) dan Ferry Irwandi (CEO Malaca Project) akhirnya menggeser batu itu bersama-sama. Satu bilang “maaf”, yang lain juga bilang “maaf”. Sederhana, tapi justru itulah yang paling berat bagi banyak orang.
Namun, jangan buru-buru kita anggap persoalan selesai. Damai bukan tanda garis finis, melainkan tanda start. Setelah hati menjadi lebih lapang, barulah energi bisa dipakai untuk hal-hal yang lebih mendasar: memperjuangkan nasib rakyat, mengawal keadilan, dan memastikan tidak ada lagi orang yang hilang atau ditahan tanpa kepastian. Kalau damai hanya berhenti pada “saling peluk” di telepon, ya hasilnya cuma seremonial.
Menurut saya, yang menarik dari peristiwa ini adalah kejujuran Ferry ketika tetap mengingatkan soal nasib kawan-kawan demonstran. Ini bukan sekadar basa-basi aktivis. Ini suara yang harus ditangkap oleh siapa saja yang merasa masih punya telinga. Damai yang sejati bukan hanya meredakan konflik di permukaan, tapi juga membuka jalan untuk menyelesaikan akar masalah. Kalau akar tetap dibiarkan, pohonnya bisa tumbuh lagi, lebih rimbun, lebih ribut.
Kita di kampung pun bisa belajar. Betapa sering kita ribut hanya karena salah dengar atau salah paham—soal batas tanah, soal musik hajatan, soal ayam berkokok dini hari. Kalau saja kita mau menggeser sedikit ego, mungkin cukup dengan satu salam atau satu telepon, semua selesai. Tidak perlu nunggu kepala desa, tidak perlu sidang adat. Yang penting ada keikhlasan, ada niat menjaga silaturahmi.
Maka benar, damai itu tidak ribet. Yang bikin ribet adalah kalau kita lebih suka mempertahankan gengsi daripada menundukkan hati. Damai itu sederhana, asal ada keikhlasan. Dan kalau seorang jenderal dan seorang aktivis bisa melakukannya, apalagi kita—rakyat biasa yang hanya ingin hidup tenang, bekerja, dan saling menjaga. Jangan sampai kita lebih sulit berdamai dibanding mereka yang hidupnya setiap hari bersentuhan dengan konflik (***)