Notification

×

Iklan

Iklan

Bisakah Pemindahan Dana Rp200 Triliun ke Bank BUMN Atasi Perlambatan Ekonomi?

Senin, 15 September 2025 | 08.00 WIB | 0 Views Last Updated 2025-09-15T02:18:23Z

 

Kebijakan pemindahan dana Rp200 triliun oleh Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa menuai kritik dari ekonom yang menilai langkah ini belum efektif mendorong pertumbuhan ekonomi. Perdebatan istilah 'printing money' dan respons publik memperkaya diskursus kebijakan fiskal Indonesia 2025. Foto: Purbaya Yudhi Sadewa

Banyuasin Pos — Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menuai sorotan setelah mengumumkan kebijakan memindahkan dana pemerintah Rp200 triliun dari Bank Indonesia (BI) ke lima bank BUMN sebagai langkah pelonggaran likuiditas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi ke target 6,5-7 persen. Kebijakan ini dikenal dengan istilah “gebrakan Rp200 triliun” dan menuai kritik dari ekonom serta perdebatan publik.(15/9/25)


Fakta Kebijakan Rp200 Triliun Purbaya

Purbaya menyebut penempatan dana pemerintah sebesar Rp457,5 triliun di BI justru memperketat likuiditas perbankan. Pemindahan Rp200 triliun dari SAL ke bank BUMN diharapkan membuka akses dana perbankan sehingga kredit dan konsumsi bisa meningkat.



Kritik Ekonom dan Indikator Likuiditas

Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), menilai kebijakan ini kurang efektif. Menurutnya, masalah utama bukan kekurangan likuiditas, melainkan lemahnya permintaan kredit. Indikator menunjukkan likuiditas perbankan longgar: LDR sekitar 86-88 persen dan penempatan dana pada SBN dan SRBI mencapai Rp1.900 triliun, artinya dana banyak “nganggur” di instrumen aman tanpa menyuntik ekonomi riil.

Anthony juga menegaskan bahwa pemindahan dana SAL bukan stimulus fiskal ekspansif, yang seharusnya dilakukan lewat pengurangan pajak atau peningkatan belanja negara, bukan pemindahan dana antar institusi pemerintah.



Apakah Kebijakan Ini Sama dengan Printing Money?

Terdapat kebingungan publik apakah kebijakan ini sama dengan "printing money". Secara teknis, printing money adalah pencetakan uang baru oleh bank sentral yang menambah uang beredar dan berpotensi meningkatkan inflasi.


Sementara itu, pemindahan dana SAL Rp200 triliun ke bank BUMN hanya mengalihkan dana yang sudah ada, bukan menambah uang baru. Jadi ini reposisi dana pemerintah untuk pelonggaran likuiditas, bukan pencetakan uang secara fisik atau digital.


Namun, efek di masyarakat terasa mirip—ada harapan pelonggaran likuiditas bisa meningkatkan daya beli dan konsumsi.


Sindiran di Media Sosial: Pandangan dari @chandraputranegara

Akun Instagram @chandraputranegara memberi analogi menarik: "Printing Money = bikin rakyat panik, Memindahkan uang = seolah elegan." Namun pada akhirnya rakyat tetap menghadapi kenaikan harga pangan, BBM, dan listrik. Sindiran ini mencerminkan keresahan publik terhadap jargon kebijakan tanpa efek nyata di keseharian.


Saran Kebijakan Alternatif

Pengamat menyarankan penguatan kebijakan fiskal ekspansif yang nyata, seperti pengurangan pajak atau peningkatan belanja negara untuk mendongkrak ekonomi. Dana SAL sebaiknya difokuskan untuk membiayai defisit anggaran agar mengurangi kebutuhan utang baru dan beban bunga APBN. 


Poin kebijakan Rp200 triliun Purbaya adalah niat pelonggaran likuiditas yang mendapat kritik dan skeptisisme atas efektivitasnya. Publik dan analis menuntut kebijakan ekonomi yang transparan, berorientasi pada dampak riil, dan manfaat langsung bagi rakyat.(***)

×
Berita Terbaru Update