Notification

×

Iklan

Iklan

Actory in cumbit probatio

Kamis, 11 September 2025 | 22.06 WIB | 0 Views Last Updated 2025-09-11T15:09:24Z
Ilustrasi

Ada satu istilah dalam dunia hukum yang sering membuat dahi orang awam berkerut: actory in cumbit probatio. Kedengarannya seperti mantra Latin yang keluar dari mulut seorang pastor abad pertengahan, padahal ini bukan urusan gereja. Istilah ini sebenarnya punya arti sederhana: siapa yang menuduh, dialah yang wajib membuktikan. Jadi, jangan kebalik—kalau Anda menuding orang lain tanpa dasar, jangan harap orang yang dituduh repot-repot membuktikan dirinya tidak bersalah.


Bayangkan saja dalam kehidupan sehari-hari. Seorang teman menuduh Anda mengambil pulpen kesayangannya. Nah, dalam logika actory in cumbit probatio, bukan Anda yang harus jungkir balik mencari alibi atau menghadirkan CCTV. Justru teman Anda yang harus membawa bukti kuat bahwa benar pulpen itu ada di saku Anda. Hukum ingin mengajarkan satu hal penting: jangan asal tuduh.


Prinsip ini juga yang jadi fondasi sistem hukum modern, termasuk di Indonesia. Pasal-pasal hukum pidana kita jelas menempatkan beban pembuktian di pundak penuntut umum, bukan terdakwa. Artinya, negara tak bisa semena-mena menjebloskan seseorang hanya berdasarkan gosip atau rasa curiga. Ada proses panjang, mulai dari penyelidikan, pengumpulan alat bukti, hingga persidangan terbuka. Dengan begitu, keadilan tidak berhenti sebagai kata indah, tapi hadir nyata di ruang-ruang sidang.


Tapi, jujur saja, di lapangan prinsip ini kadang tergelincir. Tak jarang orang yang dituduh justru merasa dirinya harus pontang-panting membuktikan bahwa ia bukan pelaku. Tekanan sosial, pemberitaan media, bahkan bisik-bisik tetangga sering kali lebih cepat menjatuhkan vonis daripada hakim. Di sinilah tantangan terbesar hukum: bagaimana menjaga keseimbangan antara teori dan kenyataan.


Kalau dipikir-pikir, actory in cumbit probatio bukan hanya soal hukum, tapi juga soal cara kita hidup bersama. Saat kita menuduh seseorang malas, curang, atau tidak jujur, bukankah seharusnya kita juga berani menunjukkan buktinya? Tanpa itu, kata-kata kita bisa jadi pisau yang melukai orang lain. Prinsip ini mengingatkan kita bahwa mulut bisa jadi "pengadilan kecil" yang dampaknya tak kalah besar dari ruang sidang (***) 


 

×
Berita Terbaru Update