Kasus pemberhentian 72 siswa di SMAN 5 Bengkulu menunjukkan betapa rapuhnya tata kelola pendidikan kita. Keputusan mendadak yang membuat puluhan siswa kehilangan hak belajar bukan sekadar masalah administrasi, melainkan bukti lemahnya keberpihakan sistem pendidikan pada anak-anak bangsa. Pendidikan tidak boleh berhenti hanya pada aturan teknis; ia adalah hak dasar yang harus dijamin negara.
Isu dugaan adanya “permainan uang” dalam penerimaan siswa baru semakin memperkeruh situasi. Meski kepala sekolah membantah, publik berhak atas transparansi penuh. Dunia pendidikan tidak boleh dicemari praktik kotor yang merusak kepercayaan masyarakat. Jika isu ini benar, maka yang tercederai bukan hanya nama sekolah, melainkan juga masa depan generasi yang sedang mencari jalan terang.
Redaksi menilai, kejadian ini harus dijadikan momentum perbaikan sistem penerimaan siswa baru yang lebih transparan, adil, dan manusiawi. Pemerintah daerah, dinas pendidikan, hingga kementerian mesti berani turun tangan, bukan sekadar memberi klarifikasi, tetapi menghadirkan solusi nyata agar anak-anak tidak menjadi korban birokrasi.
Visi pendidikan Indonesia seharusnya sederhana: memastikan setiap anak bisa belajar dengan tenang, tanpa diskriminasi, tanpa permainan, dan tanpa rasa takut kehilangan haknya. Masa depan bangsa ini ditentukan oleh bagaimana kita menjaga hak belajar anak-anak hari ini. Jika sistem gagal melindungi mereka, maka yang dipertaruhkan adalah arah peradaban kita sendiri (***)