![]() |
Ilustrasi |
Di warung kopi ujung kampung, Mang Midun, Jek Pakis, dan Mak Irah kembali nongkrong seperti biasa. Topik hari itu bukan soal politik atau bansos, tapi soal yang lebih krusial: makan bergizi. Mak Irah membuka obrolan dengan gaya serius sambil menyeruput kopi: “Aku barusan nonton TV, katanya sekarang kita wajib makan bergizi tiga kali sehari.” Mang Midun langsung geleng-geleng kepala. “Tiga kali sehari? Lah, kita ini kadang makan dua kali aja udah syukur.”
Jek Pakis, yang sejak pagi cuma makan kerupuk dan teh manis, langsung tertawa. “Kalau makan bergizi itu maksudnya tempe, tahu, dan sambal terasi, aku setuju. Tapi kalau harus ada buah, daging, dan susu, itu sih buat menu pejabat!” katanya sambil menunjuk isi warung: mie instan, telur rebus, dan sepotong semangka sisa kemarin.
Mak Irah sempat mencoba program “makan sehat” seminggu penuh. Dia masak sayur bening tanpa garam karena katanya garam bikin darah tinggi. Tapi Mang Midun protes, “Sehat sih sehat, tapi rasanya kayak air cucian beras!” Mereka akhirnya sepakat: makan bergizi itu penting, tapi rasa juga harus diperhitungkan. Kesehatan jiwa sama pentingnya dengan kesehatan raga, apalagi kalau kantong sedang kempes.
“Mungkin yang bikin aturan makan bergizi itu nggak pernah ke warung kita,” celetuk Jek Pakis. “Kalau mereka pernah duduk di sini, pasti ngerti bahwa yang penting itu bukan apa yang dimakan, tapi bisa makan bareng dan ketawa bareng.” Mak Irah pun manggut-manggut bijak sambil membungkus sisa nasi goreng buat anaknya di rumah.
Di akhir obrolan, mereka sampai pada simpulan sederhana: makan bergizi ala mereka itu bukan soal lengkapnya nutrisi, tapi soal niat, kebersamaan, dan sedikit bumbu humor. “Yang penting ada protein,” kata Mang Midun. “Walau proteinnya dari teri goreng, yang penting ada niat makan sehat.” Dan semua tertawa, karena tahu mereka sedang bergizi, kalau bukan perut, ya setidaknya hati.
Begitulah, hidup ala kaum marjinal memang penuh keterbatasan, tapi tidak pernah kehilangan cara untuk bersyukur. Di tengah kampanye makan sehat dan gizi seimbang, mereka punya cara sendiri untuk bertahan. Dan di antara gelak tawa dan secangkir kopi sachet, mereka tetap jadi ahli gizi terbaik, untuk sesama, dan untuk warung tempat segala tawa bermula (Wak Marji)