![]() |
Ilustrasi |
Di bawah pohon beringin, seperti biasa, Mang Midun menata gelas kopi di warung kecilnya. Jek Pakis parkir motornya sembari mengelap peluh, dan Mak Irah datang membawa sayur bening dalam rantang. Obrolan pun mengalir ke topik yang lagi ramai: program "Makan Bergizi Gratis". Katanya sih, semua anak bakal dapat.
“Eh, Midun, gratis katanya, tapi aku penasaran, siapa yang bayarin?” Jek Pakis membuka topik dengan nada heran. “Kalau gratis ya enak, tinggal duduk makan. Tapi kalau duitnya dari rakyat lagi, ya sama aja kayak kita patungan, kan?” sambil menghisap rokok lintingannya.
Mak Irah terkekeh, “Pakis, jangan su’uzon dulu. Kalau bener-bener jalan, kan anak-anak kita yang di sekolah bisa kenyang. Nggak perlu lagi bawa bekal seadanya. Paling nggak, mereka bisa makan enak sehari sekali.” Lalu ia menambahkan, “Cuma ya… jangan sampai programnya lebih banyak makan janji ketimbang makan nasi.”
Mang Midun ikut nimbrung, sambil menuang kopi, “Aku setuju sama Irah. Bagus niatnya, tapi kalau beneran serius, jangan cuma pamer di acara seremoni. Soalnya aku sering lihat, begitu ada program ‘gratis’, yang kenyang duluan itu pejabat yang ngurus anggarannya.” Ia lalu menambahkan dengan senyum miring, “Lha, rakyat dapat sisanya.”
Jek Pakis mengangguk, “Betul, Din. Aku malah takut nanti program makan bergizi gratis ini ujung-ujungnya jadi makan bergizi untuk segelintir. Rakyat disuruh sabar, sementara yang lain malah sibuk foto-foto bagi nasi kotak.”
Mak Irah menutup obrolan sambil menghela napas panjang, “Kalau memang negara mau kasih makan gratis, ya jangan tanggung-tanggung. Bukan cuma buat pencitraan, tapi betul-betul jadi hak rakyat kecil. Karena perut kenyang itu bukan sekadar slogan, tapi urusan hidup sehari-hari.” Di bawah pohon beringin itu, ketiganya pun terdiam sejenak, membayangkan nasi hangat, lauk sederhana, tapi benar-benar gratis, dan benar-benar bergizi (Mang Marji)