![]() |
Ilustrasi |
Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Pimred Banyuasin Pos
Ada sesuatu yang getir, sekaligus absurd, dalam kisah penyelenggaraan haji di negeri ini. Seperti sebuah ritual yang tak hanya diwarnai doa dan air mata, tapi juga perhitungan bisnis. Kuota haji, yang seharusnya sederhana sebagai angka pembagian, berubah menjadi ruang gelap tempat orang bernegosiasi. Dan dari sana lahirlah sesuatu yang kita kenal dengan istilah “haji plus”—sebuah jalur cepat yang tak diciptakan Allah, melainkan tangan manusia.
Mereka yang sabar menunggu bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, tetap harus berdiri dalam antrean panjang. Mereka yang hidup dengan sabar, menabung dengan getir, tetap saja dipaksa menunggu. Namun, tiba-tiba ada orang lain melintas dengan mudah: cukup membayar lebih, cukup membuka akses yang “istimewa.” Maka, antrean panjang itu tampak seperti sandiwara, yang hanya berlaku bagi mereka yang tak punya kuasa.
Kita bisa pura-pura tak tahu, atau menutup mata. Bahwa di balik perjalanan ke Tanah Suci, ada orang-orang yang membuat ibadah itu tampak seperti pasar gelap. Haji menjadi dua: yang reguler, dengan segala keletihan dan panjangnya penantian; dan yang “khusus,” dengan segala kenyamanan fasilitas dan kepastian jadwal. Dua wajah ini berdiri di hadapan Ka’bah yang sama, tapi keduanya lahir dari dunia yang berbeda.
Apakah Allah membedakan keduanya? Mungkin tidak. Semua sama di mata-Nya. Tetapi apakah Allah tidak tahu cara seseorang sampai ke sana? Apakah jalan pintas yang diperoleh dari hasil manipulasi itu tidak tercatat? Pertanyaan-pertanyaan itu menggantung, seperti gema tak selesai dalam ruang sunyi. Kita tak tahu jawabannya, tapi kita merasakan, ada sesuatu yang ganjil, ada sesuatu yang retak dalam kesucian ibadah itu.
Korupsi kuota haji bukan sekadar pelanggaran hukum. Ia adalah pengkhianatan terhadap keyakinan. Karena haji bukan hanya perjalanan fisik, ia adalah janji batin. Dan janji itu patah ketika perjalanan suci dirusak oleh jual beli kursi, oleh perhitungan untung rugi. Yang hilang bukan hanya keadilan, tapi juga makna.
Pada akhirnya, mungkin Allah akan mengadili dengan cara-Nya sendiri. Bukan hanya siapa yang sampai, tapi juga bagaimana mereka sampai. Dan di situ, segala dalih dunia akan kehilangan arti. Sebab di hadapan Allah, tidak ada haji plus, tidak ada jalur cepat. Yang ada hanya kesetaraan di hadapan keabadian (***)