![]() |
Ilustrasi |
“Lah, kalau guru dianggap beban, berarti kita ini semua hasil didikan beban, dong?” celetuk Mang Midun sambil tertawa kecut. Jek Pakis mengangguk-angguk, merasa tersindir karena dulu guru SD-nya yang mengajarkan hitung cepat sampai sekarang masih kepake buat ngitung setoran harian. Mak Irah langsung menimpali, “Iya, coba bayangin, kalau nggak ada guru, siapa yang ngajarin anak-anak kita baca tulis? Masa negara mau isi laporan APBN pakai gambar emotikon?”
Jek Pakis, dengan gaya khas tukang ojek pangkalan yang penuh logika sederhana, menambahkan, “Kalau guru beban, berarti dokter beban juga, tentara beban, polisi beban, semua PNS beban. Lah terus, negara isinya apa? Gedung kosong sama baliho politik aja?” Ucapannya bikin Mang Midun hampir tersedak bala-bala.
Mak Irah tak mau kalah, “Justru guru itu investasi, bukan beban. Guru yang ngajarin anak-anak jadi dokter, insinyur, menteri, bahkan presiden. Kalau presidennya sukses, ya ada jasa guru di situ. Masa iya yang ngangkat negara jadi maju malah dibilang beban? Kayak makan nasi terus bilang nasi itu sampah.”
Mang Midun lalu menimpali dengan peribahasa ala kadarnya: “Kalau guru beban, ya negara itu hasil pikulan. Cuma, pikulan ini kalau kuat ya jadi sejahtera, kalau dilepas ya bubar jalan.” Jek Pakis menepuk paha sambil ketawa, “Betul tuh, Din. Negara harusnya mikir gimana caranya bikin guru makin semangat, bukan malah bikin mereka patah hati.”
Akhirnya, Mak Irah menghela napas panjang. “Kadang aku mikir, pemerintah ini suka kebolak-balik. Yang jelas-jelas korupsi malah dipelihara, yang kerja mendidik anak bangsa malah dianggap beban. Kalau begini terus, jangan salahin rakyat kalau makin susah percaya.” Di bawah pohon beringin itu, suara mereka tenggelam oleh bunyi motor yang lalu-lalang, tapi kritiknya tetap menggema—setidaknya di hati mereka sendiri (***)