Notification

×

Iklan

Iklan

Gelombang Penjarahan, Gelombang Amarah

Minggu, 31 Agustus 2025 | 08.42 WIB | 0 Views Last Updated 2025-08-31T01:42:02Z
Ilustrasi 
Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Pemimpin Redaksi Banyuasin Pos 

Beberapa hari terakhir Jakarta seperti kehilangan akal sehatnya. Demonstrasi yang biasanya cukup berhenti di jalanan, kini pindah ke ruang tamu para pejabat. Rumah anggota DPR dan menteri yang biasanya megah dan dijaga ketat, tiba-tiba jadi arena massa yang mengangkut kulkas, televisi, sampai patung Iron Man. Aneh memang, seperti pameran elektronik gratis di akhir pekan.


Tentu kita tahu, penjarahan itu salah. Tidak ada alasan yang bisa membenarkannya. Tapi di balik semua itu, ada pertanyaan yang jauh lebih menyesakkan: bagaimana mungkin rakyat bisa sampai seputus asa itu, hingga melampiaskan marahnya ke rumah orang yang mereka anggap wakilnya? Apa ini tanda bahwa jarak antara rakyat dan para pemimpin sudah terlalu jauh?


Semua bermula dari ucapan. Sebuah kalimat yang keluar tanpa pertimbangan, lalu ditangkap telinga rakyat yang sedang kepanasan. Dan kita tahu, kata-kata bisa jadi bara. Begitu dilempar ke tengah kerumunan yang hatinya sudah retak, hasilnya adalah ledakan. Pepatah lama yang bilang “mulutmu harimaumu” jadi terbukti. Bedanya, harimau kali ini datang bukan sendiri, tapi berbondong-bondong sambil membawa karung.


Kalau kita perhatikan, rakyat sebenarnya tidak ngawur. Mereka tidak menyerbu warung tetangga atau kios kecil di pinggir jalan. Mereka tahu persis alamat siapa yang mereka datangi. Artinya, ada peta amarah yang jelas—bahwa pejabat dianggap punya utang moral yang belum terbayar. Bukan soal kulkas atau mesin cuci, melainkan soal rasa keadilan yang lama diabaikan.


Media sosial kemudian mempercepat segalanya. Satu video beredar, ribuan orang menonton, lalu menyalin amarah itu di tempat lain. Seperti api yang menjilat ranting kering, sulit dipadamkan. Rakyat sudah lelah, dan digital jadi pengeras suara untuk rasa lelah itu.


Akhirnya kita belajar satu hal sederhana: rakyat tak hanya butuh janji atau kebijakan, mereka juga butuh dihormati. Sebab sekali mereka merasa diremehkan, bukan cuma kursi DPR yang goyah, tapi juga lemari dan meja di rumah pejabat ikut terguling. Dan bila para pemimpin tak segera belajar menata kata-kata, bukan mustahil rakyat kelak bukan cuma menjarah rumah, tapi juga menghabiskan stok kesabaran negeri ini (***) 

×
Berita Terbaru Update