![]() |
Ilustrasi |
Sore itu, pohon beringin di tepi jalan kampung kembali jadi saksi. Anginnya lembut, tapi obrolan tiga sahabat marjinal justru panas. Mang Midun sibuk mengatur gelas kopi di warung kecilnya. Jek Pakis, tukang ojek pangkalan, duduk santai di jok motor tuanya. Sementara Mak Irah, ibu rumah tangga yang selalu cerewet tapi peduli, menaruh panci di ember sambil ikut nimbrung.
“Eh, Midun, Irah… katanya Jakarta, Bandung, sampai Makassar lagi panas. Demo di mana-mana. Katanya gara-gara anggota DPR joget pas gajinya naik,” ujar Jek Pakis sambil menyalakan rokok kretek murah. Wajahnya masam, ada rasa kesal yang ia tahan.
Mak Irah mendengus. “Halah, jogetnya di televisi lagi. Mereka enak aja senyum-senyum, padahal rakyat di bawah sini pusing mikirin harga minyak goreng. Kalau nggak kuat hati, bisa mewek lihat tingkah laku begitu.” Tangannya tetap mengaduk teh, tapi suaranya getir.
Mang Midun mengangguk pelan, lalu mengangkat gelas kopi hitamnya. “Rakyat marah itu bukan cuma soal gaji mereka naik. Dari dulu harga cabe nggak turun-turun, listrik naik, utang di warung numpuk. Lihat pejabat joget di atas penderitaan itu sakit, Rah. Bukan cuma bikin sebel, tapi bikin orang ngerasa diremehkan.”
Jek Pakis ikut menimpali dengan nada lebih keras. “Iya, jangankan kita, pohon beringin tempat kita nongkrong aja bisa ikut geleng kepala. Rakyat udah sabar lama-lama, tapi kalau terus dicuekin, bisa jadi gelombang. Dan gelombang kalau udah datang, nggak ada yang bisa tahan.”
Mak Irah menutup obrolan dengan suara lirih. “Kita rakyat kecil cuma bisa cerita di sini, di bawah beringin. Tapi semoga suara kita nyampe ke sana. Jangan sampai mereka pikir kita cuma angin lalu. Karena kalau rakyat sudah marah beneran, bukan cuma gedung parlemen yang gemetar, hati mereka pun harus ikut merasa.”
(Mang Marji)