![]() |
Banyuasin Pos |
Pemberian tanda kehormatan Bintang Republik Indonesia Utama kepada AM Hendropriyono kembali membuka perdebatan publik. Di satu sisi, negara menilai Hendropriyono memiliki jasa besar di bidang pertahanan dan intelijen. Namun di sisi lain, namanya masih melekat dengan catatan kelam peristiwa Talangsari 1989—sebuah tragedi kemanusiaan yang hingga kini belum menemukan titik terang penyelesaian.
Redaksi menilai, penghargaan negara mestinya tidak hanya dilihat dari sisi jasa formal semata. Kehati-hatian, asas kemanusiaan, dan rasa keadilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Gelar dan Tanda Kehormatan harus menjadi pertimbangan utama. Jika catatan masa lalu seseorang masih menyisakan luka bagi korban dan keluarga, negara seharusnya menahan diri untuk memberi gelar kehormatan.
Redaksi sepakat dengan pandangan Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya Saputa, yang menegaskan bahwa negara harus menerapkan prinsip zero tolerance terhadap siapa pun yang pernah atau diduga kuat terlibat pelanggaran HAM. Pandangan ini sejalan dengan kebutuhan bangsa untuk menempatkan keadilan dan kemanusiaan di atas kepentingan politik jangka pendek.
Bagi Redaksi, keputusan Presiden Prabowo ini justru memberi kesan permisif terhadap dugaan pelanggaran HAM. Penghargaan tanpa penyelesaian kasus hanya mempertebal rasa ketidakadilan, sekaligus menunjukkan bahwa negara belum sepenuhnya serius dalam menjalankan kewajiban konstitusionalnya dalam penegakan HAM.
Redaksi berpandangan, kehormatan sejati tidak datang dari medali atau tanda jasa, melainkan dari keberanian negara menghadirkan kebenaran dan keadilan. Tanpa itu, setiap penghargaan akan dipandang kosong dan tak lebih dari formalitas belaka (***)