![]() |
Pandangan Redaksi Banyuasin Pos |
Gelombang penonaktifan itu tidak bisa dilepaskan dari kontroversi tunjangan besar bagi anggota DPR yang belakangan ramai dikecam publik. Isu ini menyulut kemarahan luas dan akhirnya melahirkan demonstrasi besar-besaran yang berujung kericuhan di beberapa daerah. Menurut redaksi, situasi ini menjadi bukti nyata bahwa ada jurang besar antara aspirasi rakyat dengan perilaku sebagian wakilnya di parlemen.
Langkah yang diambil partai-partai memang memberi pesan bahwa mereka tidak tinggal diam. Namun, tanggung jawab partai politik seharusnya lebih dari sekadar merespons badai kritik. Sejak awal, partai memiliki kewajiban membina kadernya, menanamkan etika, dan mengingatkan bahwa kursi dewan bukan ruang untuk mencari keuntungan pribadi, melainkan amanah rakyat yang harus dijaga dengan penuh kesadaran.
Selama ini partai kerap hanya dipandang sebagai kendaraan menuju kekuasaan. Begitu kader berhasil duduk di kursi parlemen, kontrol dan pembinaan seolah melemah. Padahal, kepercayaan publik pada demokrasi ditentukan oleh seberapa serius partai menjaga perilaku anggotanya. Penonaktifan hari ini hendaknya jadi pintu masuk untuk pembenahan yang lebih mendasar.
Demonstrasi besar yang berlangsung hingga ricuh bukan hanya soal tunjangan, melainkan akumulasi rasa jengkel rakyat yang merasa tidak didengar. Itulah tanda bahwa DPR dan partai politik perlu segera merapatkan jarak dengan rakyat. Tanpa itu, jurang ketidakpercayaan akan makin melebar.
Redaksi percaya, keputusan menonaktifkan lima anggota dewan ini hanyalah langkah awal. Pekerjaan rumah yang jauh lebih berat adalah mengembalikan marwah parlemen, menegakkan disiplin partai, dan memastikan suara rakyat benar-benar menjadi pegangan utama. Demokrasi hanya bisa bertahan bila wakil rakyat tetap berpijak pada realitas kehidupan rakyat yang sesungguhnya (***)