Notification

×

Iklan

Iklan

Bintitan, Mitos, dan Pesan Moral di Balik Pandangan Orang Melayu Banyuasin

Minggu, 31 Agustus 2025 | 22.06 WIB | 0 Views Last Updated 2025-08-31T15:06:25Z
Ilustrasi Bintitan 
Di banyak desa di Banyuasin, masih sering terdengar bisik-bisik orang tua ketika melihat anaknya pulang dengan mata bengkak. “Nah, pasti tadi ngintip orang mandi,” begitu komentar yang keluar sambil diiringi tawa kecil. Meski bagi sebagian anak muda terdengar kocak, sesungguhnya ungkapan itu menyimpan nilai yang lebih dalam tentang cara masyarakat Melayu Banyuasin menjaga tata krama.

Bintitan—mata yang membengkak dan bernanah—dipercaya bukan hanya soal kesehatan, tetapi juga hukuman atas kelakuan tidak pantas. Keyakinan turun-temurun ini seolah menjadi alarm sosial: jangan melanggar batas sopan santun, apalagi sampai mengintip orang mandi. Di balik mitos yang sederhana itu, tersimpan pesan moral tentang pentingnya menjaga pandangan, menghormati privasi, dan tidak merendahkan orang lain.

Air, dalam tradisi Melayu, bukan sekadar elemen alam, melainkan lambang kesucian. Mandi adalah ruang paling personal, tempat seseorang membersihkan tubuh dan jiwanya. Ketika ada yang nekat melanggar dan mengintip, ia dianggap merusak kesucian itu. Hukuman bintitan pun diyakini sebagai balasan yang setimpal. Menariknya, penderita bintitan bukan hanya merasa sakit secara fisik, tetapi juga menanggung malu karena jadi bahan olok-olok di lingkungannya.

Cerita ini biasanya diwariskan sejak anak-anak masih kecil. Orang tua tidak perlu panjang lebar memberi nasihat. Cukup dengan mengatakan, “Nanti kalau ngintip, bisa bintitan,” anak-anak pun mengurungkan niat. Cara sederhana ini membuat nilai kesopanan melekat kuat tanpa perlu penjelasan rumit. Itulah kecerdikan masyarakat tradisional dalam mendidik generasi muda—mengemas pesan moral dalam bentuk mitos yang mudah dipercaya dan diingat.

Lebih jauh, mitos bintitan sebenarnya juga berfungsi sebagai kontrol sosial. Ia membatasi perilaku dengan rasa takut yang menempel di benak. Walaupun secara ilmiah tak ada hubungan langsung antara bintitan dan kebiasaan mengintip, masyarakat tetap mempertahankannya karena nilai simboliknya. Yang penting bukan kebenaran medisnya, melainkan pesan bahwa privasi harus dijaga dan kesopanan tidak boleh dilanggar.

Kini, di era gawai dan arus globalisasi, anak-anak muda mulai mempertanyakan mitos semacam ini. Ada yang menanggapinya dengan tertawa, ada pula yang sudah tidak percaya sama sekali. Namun, nilai di baliknya tetap relevan: menjaga kehormatan diri, menghargai orang lain, dan hidup dalam tatanan sosial yang harmonis. Mungkin bentuk penyampaiannya perlu diperbarui, tapi esensi ajarannya masih layak dipertahankan.

Mitos bintitan dalam masyarakat Melayu Banyuasin mengajarkan bahwa sebuah kepercayaan tidak melulu soal benar atau salah, melainkan tentang cara menjaga nilai-nilai kehidupan. Di situlah kearifan lokal bekerja—mengikat manusia dengan norma, kesopanan, dan rasa hormat terhadap sesama. Dan meski zaman terus berubah, cerita-cerita sederhana seperti ini tetap menjadi bagian dari wajah budaya yang tidak boleh hilang (***) 
×
Berita Terbaru Update