![]() |
Ilustrasi |
Di bulan Agustus ini, suasana kampung jadi agak berbeda. Bendera merah putih mulai bermunculan di pagar rumah, gapura dicat ulang, dan anak-anak mulai latihan lomba makan kerupuk. Tapi di bawah pohon jengkol, tempat nongkrong Mang Midun, Jek Pakis, dan Mak Irah, yang berubah bukan hanya hiasan, tapi juga topik obrolan. “Delapan puluh tahun merdeka, kita udah dapet apa, ya?” tanya Mak Irah sambil mengibaskan sarungnya. Pertanyaan itu langsung bikin Mang Midun dan Jek Pakis saling pandang, lalu tertawa kecil. Bukan karena lucu, tapi karena bingung mau jawabnya dari mana.
“Katanya tujuan kemerdekaan itu buat memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa,” ujar Jek Pakis, mengutip Pancasila dari poster SD dulu. “Tapi kok, aku ngerasa yang makin maju malah harga bensin dan cicilan motor, bukan hidup kita.” Mang Midun mengangguk, lalu menambahkan, “Yang cerdas sekarang itu aplikasi pinjaman online. Kita belum daftar, dia udah tahu nama ibu kandung.”
Mak Irah menghela napas. Dulu dia pikir, merdeka itu artinya bebas dari penjajahan. Tapi sekarang, dia merasa dijajah lagi—oleh kuota internet, oleh harga sembako, oleh sistem aneh yang bikin bantuan sosial kadang nyasar ke rumah yang ada mobilnya. “Mungkin sekarang kita bukan dijajah negara lain, tapi dijajah gaya hidup sendiri,” katanya sambil menyeruput kopi.
Namun, seperti biasa, mereka tak larut dalam keluhan. Ada saja humor yang menyelamatkan suasana. “Merdeka itu mungkin artinya bebas tertawa, walau perut kosong,” celetuk Jek Pakis. “Dan itu, alhamdulillah, kita masih punya.” Tawa pun kembali pecah, walau di sela-selanya ada getir yang tidak diucap.
Mereka sepakat bahwa kemerdekaan bukan hanya soal angka 80 tahun, tapi soal apakah rakyat kecil seperti mereka benar-benar merasa punya kendali atas hidupnya. “Selama kita masih mikir dua kali buat beli telur, kayaknya merdeka itu masih dalam proses,” ujar Mang Midun sambil mengangkat gelas kopi sachetnya seolah bersulang untuk harapan.
Bulan Agustus memang sakral, penuh sejarah dan semangat perjuangan. Tapi buat mereka bertiga, sakral juga berarti waktu untuk merenung: apakah semangat yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata sudah benar-benar sampai ke piring makan rakyat kecil? Atau masih nyangkut di pidato dan spanduk ucapan semata? Mereka tak tahu pasti. Tapi satu hal yang mereka yakin: selama masih bisa ngobrol, ketawa, dan berharap—merdeka, walau seadanya, tetap layak dirayakan. (Mang Marji)
Langsung jadi yang terdepan dengan mengikuti berita dan artikel pilihan setiap hari di genggamanmu!
Gabung sekarang ke WhatsApp Channel Banyuasinpos.com—cukup klik https://whatsapp.com/channel/0029VbBHumrCnA7qJz2aaw2O, Rasakan sensasi dapat kabar tercepat—kapan saja, di mana saja! Jangan sampai ketinggalan, ayo join sekarang juga!