Notification

×

Iklan

Iklan

Upacara Sakral Like dan Scroll: Menyembah Algoritma dalam Kuil Data

Minggu, 27 Juli 2025 | 21.48.00 WIB | 0 Views Last Updated 2025-07-29T15:48:51Z

 ilustrasi 

Oleh: Pebriyan Arisca Pratama


Dulu manusia berdoa di puncak gunung atau di altar penuh emas, kini kita menjalankan ibadah dalam genggaman. Kuil kita bukan tempat fisik, tapi layar yang tak pernah padam. Setiap sentuhan jari adalah liturgi baru dari zaman algoritma yang membelenggu. Di abad yang serba gesit ini, aku berani bersumpah: lebih banyak orang takut sinyal hilang daripada kehilangan doa makan. Selamat datang dalam upacara paling khusyuk—ritual scroll dan like—di mana seluruh energi kolektif dipersembahkan buat entitas misterius bernama engagement rate.


Aku, penganut setia agama maya ini, menjalani hari dengan semangat yang tak goyah. Autoetnografi digital ibarat cermin ajaib yang menyinari bagaimana makna kehidupan tercipta dari jalinan personal dan interaksi di ranah maya yang tak kasat mata tapi nyata terasa (Tiidenberg et al., 2025). Maka, wajar jari-jari ini terus menari tanpa henti—scroll, like, emoji—seolah sedang berdansa di altar suci yang menentukan nasib digital. Cari validasi lewat like, menunggu notifikasi datang bak wahyu, seakan rahib yang menanti firman langit server. Berbeda dengan para mistikus yang bertapa di gunung, aku cukup menyendiri di pojok kamar, diterangi cahaya ponsel yang setia menunggu mukjizat algoritma—entah konten ini jadi viral atau hanya memetik satu loncatan dopamine sederhana dari notifikasi. 


Sementara itu, para antropolog digital mengamati perubahan masyarakat dengan kaca pembesar maya. Etnografi digital adalah mantra sakral yang memotret pola perilaku dan relasi sosial di dunia virtual (Borkovich, 2022). Scroll dan like bukan sekadar hiburan belaka, melainkan jampi sakti yang mengukir status sosial baru: siapa yang rajin komentar “keren bro”, siapa yang panjang sabar tanpa suara, siapa yang tersembunyi di balik layar tapi tetap hadir. Notifikasi? Bukan cuma pesan biasa—dia adalah gong suci yang memanggil jemaah untuk kembali berdiri di barisan depan zaman digital.


Teringat ketika film The Social Dilemma mengangkangi mata ku, menampilkan absurditas ini terang-terangan. The Social Dilemma adalah seperti pertunjukan sandiwara besar yang dibawakan oleh Jeff Orlowski (2020), memperlihatkan bagaimana media sosial dengan lihai menjadi dalang di balik layar. Algoritma yang memikat seperti pesulap ulung yang mengawasi gerak-gerik kita, memanipulasi feed agar kita terus terpana dan terjerat dalam ketergantungan tanpa sadar. Film ini juga menampilkan drama keluarga yang terjebak dalam labirin digital—dari remaja yang kecanduan notifikasi hingga orang tua yang tersesat dalam sajian informasi yang memecah belah. Para mantan insinyur dari raksasa teknologi hadir sebagai saksi bisu, membuka tabir bahwa di balik layanan "gratis" tersembunyi kuil pengorbanan yang menukar kesejahteraan kita demi laba dan kendali perhatian. Sebuah drama elektronik yang menggugah dan menakutkan sekaligus—teater nyata kehidupan modern kita di panggung algoritma raksasa.


Dalam panggung yang sama, kita memainkan peran sebagai imam-imam tak bermahkota yang dengan rela mempersembahkan data pribadi, waktu, dan emosi demi sekejap viralitas atau pengakuan digital semu. Kebebasan berekspresi yang kita banggakan ternyata hanyalah mantra penipu, menidurkan umat agar giat menyembah altar konsumsi data. Algoritma bukan mesin mati, melainkan imam besar yang menentukan siapa yang layak disembah dan siapa yang dilupakan.


Ironisnya, kita bahagia menjalani ritual ini. Menertawakan diri sendiri saat sadar sudah jadi produk yang dengan sukarela menyerahkan privasi, waktu tidur, dan rasionalitas. Saat baterai habis, kesunyian yang datang terasa seperti kekosongan spiritual masa kini.


Mari rayakan upacara sakral ini. Duduk nyaman, jempol menari tanpa lelah, like dan share disebar seperti bunga di pemakaman kendali diri. Ucapkan mantra baru yang sederhana: “Algoritma, berikan aku validasi-Mu hari ini, oh server maha sibuk!” Tak perlu dupa, cukup kedipan notifikasi dan dering aplikasi menjadi tanda persembahan sah di altar data agung.


Inilah agama kontemporer—tanpa nabi dan akhirat, tapi punya surga dan neraka berupa likes, views, dan komentar. Agama yang kitab sucinya adalah metadata, surga sosialnya trending topic, dan nerakanya DM tak terbalas.


Dan jangan percaya sudah bangun dari mimpi ini, cek saja berapa detik setelah ini sampai jari kembali ke ritual sakral: scroll lagi, like lagi, berikan hati untuk yang mungkin tak pernah kita kenal.


Referensi

Tiidenberg, K., Markham, A. N., Schreiber, M., & Schaffar, A. (2025). Patterns of Surprise and Ambivalence: Studying Social Media Visuality by Way of Aggregated Autoethnography. Forum Qualitative Sozialforschung / Forum: Qualitative Social Research, 26(2). https://doi.org/10.17169/fqs-26.2.4182

Borkovich, D. J. (2022). Digital ethnography: A disruptive qualitative approach to inquiry. Issues in Information Systems, 23(4), 119-134. https://iacis.org/iis/2022/4_iis_2022_119-134.pdf

×
Berita Terbaru Update