Notification

×

Iklan

Iklan

Sound Horeg: Getarnya Mengguncang Fatwa dan Fakta

Sabtu, 26 Juli 2025 | 11.57.00 WIB | 0 Views Last Updated 2025-07-27T00:44:27Z

BANYUASIN - Di balik kontroversi fatwa haram MUI terhadap sound horeg, tersembunyi sebuah pertanyaan mendasar: apa sebenarnya yang dicari oleh para pegiatnya? Bukan sekadar tentang bass yang menggelegar atau remix koplo yang memekakkan telinga, melainkan sebuah ruang ekspresi bagi komunitas yang kerap tersingkir dari panggung hiburan arus utama. Sound horeg lahir dari kreativitas akar rumput di Jawa Timur—sebuah respons terhadap keterbatasan akses ke industri musik formal, sekaligus simbol kebanggaan lokal yang dirayakan dengan genset raksasa dan truk-truk berkelir neon. Bagi mereka, ini bukan sekadar hiburan, melainkan "senjata sonik" untuk menuntut pengakuan: "Kami ada, dan kami bergetar!"

Namun, di balik euforia itu, ada kisah-kisah tragis yang menggelisahkan. Seorang kakek di Jabung, Malang, meninggal saat rombongan sound horeg melintas depan rumahnya; seorang kru tewas terjatuh dari truk di Blora; bahkan genting-genting rumah berhamburan seperti korek api diterjang bass 130 desibel. Getarannya bukan hanya merusak kaca jendela, tapi juga memecah harmoni sosial—seperti insiden di Malang saat seorang ibu nyaris dikeroyok karena protes kebisingan mengganggu anaknya yang sakit. Tragedi-tragedi ini mempertanyakan batas antara kebebasan berekspresi dan hak warga atas ketenangan.  

Lalu, mengapa fatwa haram MUI justru memantik polemik lebih keras? Sebagian melihatnya sebagai pembatasan terhadap budaya lokal, sementara yang lain menilai sound horeg telah melampaui batas—tak hanya mengganggu ibadah dan istirahat, tapi juga kerap diiringi "goyangan tak pantas" dan miras. Fatwa ini sebenarnya bukan melarang musiknya, melainkan "kemudaratan" yang ditimbulkannya: kebisingan ekstrem, kerusakan properti, hingga degradasi moral. Tapi bagi penikmat sound horeg, ini seperti memenjarakan seekor singa dalam kandang—ia mungkin aman, tapi kehilangan jiwa liarnya.  

Apa yang istimewa dari sound horeg hingga begitu dicintai? Jawabannya mungkin terletak pada rasa memiliki. Di tengah dunia yang kian terfragmentasi, sound horeg menawarkan kebersamaan yang nyata—bukan lewat layar gawai, tapi dalam getaran yang menyatukan tubuh penari, deru genset, dan sorak penonton. Ia adalah "altruisme komunal" yang unik: ada donasi untuk anak yatim dari kaleng umplung, ada kebanggaan ketika sound system desa mengalahkan tetangga, bahkan ada solidaritas saat warga ramai-ramai membongkar jembatan demi meloloskan truk sound horeg.  

Mungkin solusinya bukan pelarangan total, tapi negosiasi ruang. Seperti di Berlin yang menciptakan "zona musik publik" atau Jepang yang mengatur jam operasional sound system, Indonesia bisa merancang regulasi berbasis komunitas—misalnya dengan menentukan zonasi khusus, membatasi durasi, atau mengembangkan teknologi peredam getaran. Sound horeg tak harus hilang, tapi ia perlu belajar "bergetar tanpa meruntuhkan". Sebab, seperti kata seorang pegiat, "Kalau genting pecah, kami ganti. Tapi kalau suara kami dibungkam, siapa yang akan mengganti roh budaya kami?" (BeHa)

×
Berita Terbaru Update