Banyuasin, Banyuasin Pos – Dalam tradisi Orang Melayu Banyuasin (OMB), larangan membuang tulang ikan bagi perempuan pasca-melahirkan sebelum masa nifas 40 hari selesai bukan sekadar mitos. Di balik kepercayaan ini tersembunyi kearifan lokal, nilai spiritual, dan dinamika sosial yang mencerminkan kekayaan budaya masyarakat yang mendiami wilayah rawa dan sungai di Sumatera Selatan ini.
Budayawan Banyuasin, Irwan P. Ratu Bangsawan, menyebut larangan tersebut sebagai salah satu warisan kosmologi Melayu yang masih hidup hingga kini di sejumlah desa. “Larangan itu berkaitan erat dengan kepercayaan bahwa arwah ikan dapat ‘mengganggu’ bayi yang baru lahir jika tulangnya dibuang sembarangan. Tapi di balik itu, ada pesan kebersihan dan kehati-hatian selama masa rawan pasca-persalinan,” ujarnya saat diwawancarai Banyuasin Pos.
Dalam masyarakat OMB, ikan bukan hanya sumber makanan, tetapi juga simbol kehidupan. Ikan gabus misalnya, dikenal luas dalam pengobatan tradisional dan ritual pemulihan. “Ikan itu punya posisi khusus dalam kehidupan masyarakat rawa. Bahkan sisa tubuhnya, seperti tulang, masih dianggap punya ‘jiwa’. Membuangnya sembarangan bisa dianggap tidak sopan terhadap alam,” lanjut Irwan.
Masa nifas selama 40 hari sendiri dipandang sebagai waktu sakral, baik secara medis maupun spiritual. Pantangan-pantangan yang dikenakan, menurut Irwan, berfungsi sebagai bentuk perlindungan—baik dari gangguan fisik seperti infeksi, maupun gangguan gaib yang dipercaya masih berkeliaran di sekitar ibu dan bayi.
Lebih jauh, larangan ini juga berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial. “Biasanya, ibu atau mertua yang akan memastikan pantangan ini dijalankan. Di situ terlihat bagaimana komunitas turut berperan menjaga ibu nifas. Ini bentuk nyata dari nilai gotong royong yang masih kuat di kalangan masyarakat Melayu,” tambahnya.
Namun demikian, dari sudut pandang gender, Irwan menggarisbawahi bahwa pantangan ini sekaligus menunjukkan bagaimana tubuh perempuan menjadi pusat pengaturan sosial. “Ada ambivalensi di sana. Di satu sisi melindungi, tapi di sisi lain mengontrol. Ruang gerak ibu dibatasi dengan alasan tradisi,” katanya.
Di tengah arus modernisasi dan berkembangnya ilmu kesehatan, Irwan menyebutkan bahwa kepercayaan seperti ini mulai memudar, terutama di kalangan generasi muda. Meski begitu, di pedesaan pantangan ini masih dijaga. “Edukasi budaya yang sensitif perlu dilakukan. Tidak harus menolak mitosnya, tapi memahami pesan simboliknya: tentang kebersihan, kehati-hatian, dan keharmonisan dengan alam,” pungkasnya.
Larangan membuang tulang ikan mungkin terdengar aneh bagi sebagian orang, namun bagi masyarakat OMB, mitos ini adalah cerminan dari relasi manusia dengan alam, spiritualitas, dan nilai sosial yang dijalin erat dalam keseharian. Sebuah warisan budaya yang layak dipahami, bukan sekadar dipertanyakan (***)