Banyuasin Pos - Media sering dipuja sebagai pilar keempat demokrasi—penjaga informasi, pengawas kekuasaan, dan penyalur suara rakyat. Namun, di tengah banjir informasi dan ketimpangan wacana hari ini, pertanyaan yang perlu diajukan ulang adalah: informasi milik siapa? Suara rakyat yang mana? Siapa yang diuntungkan dan siapa yang dikesampingkan dalam setiap pemberitaan? Antropologi, sebagai disiplin yang senantiasa memeriksa struktur kuasa dalam produksi makna, menawarkan pisau analisis yang tajam untuk membongkar klaim netralitas media. Media tidak pernah benar-benar netral. Ia tidak hanya menyampaikan realitas, tetapi membentuknya—melalui narasi, simbol, pilihan kata, dan siapa yang diberi atau dicabut suaranya.
Dalam pengantar buku Media Anthropology (2005), Eric W. Rothenbuhler dan Mihai Coman menegaskan bahwa media bukanlah jendela transparan ke dunia nyata, melainkan arena tempat makna dinegosiasikan, dikonstruksi, dan disebarluaskan. Setiap berita adalah hasil seleksi sosial: apa yang dianggap penting, siapa yang dianggap otoritatif, dan bagaimana sesuatu seharusnya dipahami oleh khalayak.
Ketika Realitas Disederhanakan
Lihatlah cara media arus utama di Indonesia melaporkan konflik agraria. Petani yang mempertahankan tanahnya kerap disebut sebagai “oknum yang menghambat pembangunan” atau “massa tak dikenal”. Sementara korporasi besar, aparat, atau pemerintah lokal sering tampil sebagai pembawa solusi. Framing semacam ini bukan sekadar persoalan etika jurnalistik, melainkan bagian dari struktur kuasa yang lebih dalam.
Di sinilah konsep kekerasan simbolik dari Pierre Bourdieu menjadi relevan. Media melakukan kekerasan bukan melalui senjata, tetapi melalui representasi: melalui cara menyebut, membingkai, dan menghapus. Ketika masyarakat adat disebut “penghambat investasi” atau korban kekerasan seksual dikaburkan identitas dan motifnya, media telah melakukan kekerasan simbolik yang dampaknya sangat nyata: mereka yang seharusnya mendapat empati justru mendapat stigma.
Padahal, tugas media bukan hanya menyampaikan siapa melakukan apa, tapi juga mengapa dan dalam konteks apa. Reduksi peristiwa menjadi sekadar “fakta peristiwa” tanpa latar struktural adalah bentuk pembodohan sistemik. Ini menciptakan publik yang tahu apa yang terjadi, tapi tidak paham mengapa dan bagaimana seharusnya bersikap.
Kepentingan Ekonomi di Balik Redaksi
Banyak redaksi media saat ini beroperasi bukan demi kepentingan publik, tetapi sebagai bagian dari industri informasi. Konten yang layak terbit bukan lagi ditentukan berdasarkan urgensi sosial, melainkan berdasarkan potensi klik dan keterlibatan (engagement). Di sinilah media tunduk pada logika pasar.
Seperti dikatakan Stuart Hall, media tidak pernah bebas dari ideologi. Pilihan narasumber, cara framing headline, hingga waktu tayang atau publikasi sebuah berita semua dipengaruhi oleh struktur ekonomi-politik. Media besar sering kali dimiliki oleh konglomerat yang juga terhubung dengan kekuasaan politik. Maka tak mengherankan jika pemberitaan tentang skandal pejabat tertentu diturunkan atau dibingkai sedemikian rupa agar tidak merusak citra investor atau mitra redaksi.
Sementara itu, berita-berita dengan bobot kritis dan struktur naratif panjang semakin ditinggalkan karena tidak “menjual”. Liputan investigatif yang memerlukan waktu, dana, dan tenaga kerap dikalahkan oleh berita viral soal selebritas, kriminalitas, atau polemik receh yang lebih cepat menaikkan trafik.
Logika Algoritma: Ketika Mesin Menentukan Apa yang Penting
Masuknya platform digital seperti Facebook, TikTok, dan X (Twitter) sebagai kanal distribusi utama berita memperparah persoalan ini. Berita hari ini tidak hanya dikurasi oleh redaktur, tetapi oleh algoritma—logika tersembunyi yang mengutamakan konten yang cepat diklik, dibagikan, atau memicu emosi.
Dalam risetnya, antropolog media Nick Couldry memperkenalkan istilah data colonialism, yakni cara platform digital mengeksploitasi perhatian dan emosi pengguna untuk menguntungkan mesin kapitalisme data. Berita yang muncul di lini masa kita bukan yang paling penting secara sosial, tetapi yang paling “menarik” menurut logika sistem.
Kita pun terjebak dalam filter bubble dan echo chamber—hanya membaca berita yang menguatkan pandangan kita, membenci berita yang berbeda, dan akhirnya gagal memahami kompleksitas dunia. Informasi menjadi terfragmentasi, publik terpecah, dan kebenaran menjadi relatif.
Siapa yang Dianggap Layak Didengar?
Pertanyaan krusial dalam kajian antropologi media adalah: siapa yang memiliki kuasa untuk berbicara, dan siapa yang dianggap pantas untuk didengar? Media sering kali hanya menampilkan narasumber yang dianggap “resmi” atau “intelektual”, sementara suara warga biasa, buruh, petani, atau komunitas adat hanya muncul saat menjadi korban, pelaku, atau ornamen narasi.
Padahal, seperti dikatakan oleh Faye Ginsburg dalam kajiannya tentang media komunitas, “representasi adalah bentuk kekuasaan.” Ketika komunitas tidak bisa merepresentasikan dirinya sendiri, mereka akan direpresentasikan oleh orang lain, sering kali dalam cara yang menyimpang dari realitas mereka.
Dalam berita bencana, misalnya, warga lokal kerap ditampilkan sebagai obyek penderita yang pasif. Mereka jarang diberi ruang untuk menjelaskan bagaimana mereka menafsirkan bencana, atau bagaimana mereka mengatasi trauma secara kultural. Narasi semacam ini menciptakan publik yang hanya tahu “berapa orang tewas” tapi tidak memahami pengalaman hidup orang-orang yang terdampak.
Antropologi dan Tugas Membaca Media
Di sinilah posisi penting antropologi dalam membaca media: bukan sekadar mengkonsumsi berita, tetapi mengkaji bagaimana berita diproduksi, dikemas, dan didistribusikan. Antropologi tidak hanya tertarik pada isi pesan, tetapi juga pada konteks sosialnya—siapa yang membuat, dengan tujuan apa, dalam situasi seperti apa, dan bagaimana dampaknya terhadap yang diberitakan maupun pembacanya.
Etnografi redaksi—salah satu pendekatan dalam antropologi media—menunjukkan bahwa wartawan, editor, dan produser berita adalah agen sosial yang terikat oleh waktu, target, tekanan pasar, dan kebijakan lembaga. Keputusan mereka bukan netral, tetapi lahir dari medan sosial yang saling tarik-menarik antara idealisme dan realitas industri.
Menuju Demokratisasi Media: Membuka Ruang untuk Narasi Alternatif
Kritik tajam terhadap media tidak harus berakhir pada pesimisme. Sebaliknya, kritik ini harus menjadi dasar untuk membangun praktik media yang lebih demokratis. Kita butuh lebih banyak ruang bagi jurnalisme akar rumput, media komunitas, dan platform naratif yang memberi ruang bagi mereka yang selama ini dibungkam oleh media arus utama.
Kita juga perlu mendorong literasi media berbasis antropologi: pendidikan yang tidak hanya mengajarkan cara memverifikasi berita, tetapi juga cara membaca konteks sosial, memahami relasi kuasa, dan mengenali bias kultural yang terselubung dalam narasi media.
Seperti yang diyakini oleh antropolog digital Daniel Miller, media bukanlah teknologi netral, tetapi bagian dari “dunia sosial yang dijalani, dinegosiasikan, dan dipertarungkan.” Maka, kritik terhadap media bukan sekadar soal profesionalisme jurnalis, tetapi soal masa depan kebudayaan kita bersama.
Menjadi Pembaca yang Melawan
Kita hidup dalam zaman di mana menjadi pembaca yang pasif adalah bentuk kolaborasi dengan penindasan simbolik. Dalam dunia yang penuh dengan narasi palsu, berita manipulatif, dan citra semu, tugas kita sebagai warga adalah menjadi pembaca yang melawan—melawan bias, melawan penyederhanaan, melawan dominasi satu suara.
Antropologi memberi kita bekal untuk membaca dengan lebih kritis, bukan hanya isi berita, tetapi siapa yang dibungkam di balik narasinya. Dan dari sana, kita bisa mulai membayangkan bentuk media yang lebih adil—media yang bukan hanya menjual informasi, tetapi merawat makna dan martabat manusia.(Atthoriq Chairul Hakim)