![]() |
Foto: Kompas.com |
Kelompok advokasi digital seperti Elsam dan IDPRO memperingatkan bahwa perjanjian ini dapat mengancam kedaulatan digital Indonesia. Hendra Suryakusuma, Ketua IDPRO, menyebut data warga Indonesia berisiko menjadi komoditas yang dieksploitasi perusahaan teknologi AS untuk pengembangan AI dan strategi pemasaran, sementara pusat data lokal hanya berfungsi sebagai "penyimpanan tepi" (edge computing). Elsam juga menilai perjanjian ini tidak adil karena lebih menguntungkan kepentingan perusahaan penyimpan data AS daripada perlindungan privasi warga Indonesia.
Di tengah kontroversi, pemerintah berupaya menenangkan publik dengan menekankan bahwa transfer data akan tunduk pada Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) No. 27/2022 dan Peraturan Pemerintah No. 71/2019 tentang Sistem Elektronik. Meutya Hafid menyatakan bahwa aliran data hanya diperbolehkan untuk tujuan tertentu seperti layanan cloud, e-commerce, dan riset digital, dengan pengawasan ketat. Namun, kritikus mencatat bahwa Indonesia belum membentuk lembaga pengawas perlindungan data pribadi, sehingga pengawasan masih lemah dan rentan penyalahgunaan.
Dampak ekonomi juga menjadi sorotan. Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, mengklaim 12 perusahaan teknologi AS termasuk Google Cloud dan Microsoft telah mematuhi regulasi Indonesia dengan membangun pusat data lokal. Namun, Hendra Suryakusuma memprediksi investasi asing bisa dialihkan ke AS jika pusat data di Indonesia hanya berperan sekunder, merugikan industri lokal dan PLN yang kehilangan potensi pendapatan dari permintaan penyimpanan data.
Isu ini semakin kompleks dengan rencana peluncuran infrastruktur digital publik oleh Kemendagri pada Agustus 2025, yang melibatkan data kependudukan 286,6 juta jiwa untuk program perlindungan sosial. Para pakar mendesak transparansi lebih besar dan penundaan perjanjian hingga Indonesia memiliki kerangka pengawasan yang matang. Pratikno, Menko PMK, menegaskan bahwa data adalah "minyak baru" yang harus dikelola secara berdaulat, sementara Meutya Hafid berjanji akan memastikan kedaulatan data tetap utuh meski berintegrasi dengan ekonomi digital global. (***)