Notification

×

Iklan

Iklan

Data Warga RI Terancam Dikirim ke AS? Pemerintah Didesak Tunda Perjanjian Digital

Sabtu, 26 Juli 2025 | 03.48.00 WIB | 0 Views Last Updated 2025-07-27T06:50:22Z
Foto: Kompas.com
Jakarta, Banyuasin Pos - Pemerintah Indonesia sedang menghadapi kritik tajam terkait rencana perjanjian perdagangan digital dengan Amerika Serikat (AS) yang memungkinkan transfer data pribadi warga Indonesia ke AS. Klausul dalam perjanjian ini, yang diumumkan dalam pernyataan bersama Gedung Putih, menyatakan bahwa Indonesia mengakui AS memiliki perlindungan data yang "memadai", sehingga memungkinkan aliran data lintas batas tanpa hambatan tarif. Menteri Komunikasi dan Informatika Meutya Hafid menegaskan bahwa transfer data akan dilakukan dalam kerangka hukum yang ketat dan diawasi otoritas Indonesia, namun hal ini tidak meredam kekhawatiran para pengamat.  

Kelompok advokasi digital seperti Elsam dan IDPRO memperingatkan bahwa perjanjian ini dapat mengancam kedaulatan digital Indonesia. Hendra Suryakusuma, Ketua IDPRO, menyebut data warga Indonesia berisiko menjadi komoditas yang dieksploitasi perusahaan teknologi AS untuk pengembangan AI dan strategi pemasaran, sementara pusat data lokal hanya berfungsi sebagai "penyimpanan tepi" (edge computing). Elsam juga menilai perjanjian ini tidak adil karena lebih menguntungkan kepentingan perusahaan penyimpan data AS daripada perlindungan privasi warga Indonesia.
  
Di tengah kontroversi, pemerintah berupaya menenangkan publik dengan menekankan bahwa transfer data akan tunduk pada Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) No. 27/2022 dan Peraturan Pemerintah No. 71/2019 tentang Sistem Elektronik. Meutya Hafid menyatakan bahwa aliran data hanya diperbolehkan untuk tujuan tertentu seperti layanan cloud, e-commerce, dan riset digital, dengan pengawasan ketat. Namun, kritikus mencatat bahwa Indonesia belum membentuk lembaga pengawas perlindungan data pribadi, sehingga pengawasan masih lemah dan rentan penyalahgunaan.
  

Dampak ekonomi juga menjadi sorotan. Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, mengklaim 12 perusahaan teknologi AS termasuk Google Cloud dan Microsoft telah mematuhi regulasi Indonesia dengan membangun pusat data lokal. Namun, Hendra Suryakusuma memprediksi investasi asing bisa dialihkan ke AS jika pusat data di Indonesia hanya berperan sekunder, merugikan industri lokal dan PLN yang kehilangan potensi pendapatan dari permintaan penyimpanan data.  

Isu ini semakin kompleks dengan rencana peluncuran infrastruktur digital publik oleh Kemendagri pada Agustus 2025, yang melibatkan data kependudukan 286,6 juta jiwa untuk program perlindungan sosial. Para pakar mendesak transparansi lebih besar dan penundaan perjanjian hingga Indonesia memiliki kerangka pengawasan yang matang. Pratikno, Menko PMK, menegaskan bahwa data adalah "minyak baru" yang harus dikelola secara berdaulat, sementara Meutya Hafid berjanji akan memastikan kedaulatan data tetap utuh meski berintegrasi dengan ekonomi digital global. (***)


×
Berita Terbaru Update