Notification

×

Iklan

Iklan

Begubelan, Solusi Adat Pernikahan yang Tetap Dihormati Masyarakat Melayu Banyuasin

Senin, 28 Juli 2025 | 08.00.00 WIB | 0 Views Last Updated 2025-07-29T04:15:18Z
BANYUASIN, BANYUASIN POS – Di tengah arus modernisasi yang kian deras, masyarakat Melayu Banyuasin masih memegang teguh tradisi-tradisi adat yang menjadi bagian penting dari identitas budaya mereka. Salah satu tradisi itu adalah begubelan, sebuah praktik adat yang kerap dijadikan solusi terakhir saat jalan menuju pernikahan tersendat oleh berbagai hambatan sosial, keluarga, atau adat.

Menurut Budayawan Banyuasin, M. Irwan P. Ratu Bangsawan, begubelan bukan sekadar "lari kawin" yang dipahami secara sempit. Tradisi ini justru memperlihatkan cara masyarakat Melayu Banyuasin mencari jalan keluar yang tetap mengindahkan syariat Islam dan menjaga marwah keluarga. “Begubelan bukan pelanggaran adat, melainkan bentuk kompromi adat. Tetap ada akad nikah, ijab kabul, dan saksi. Semuanya dilandasi oleh aturan agama,” jelas Irwan.

Irwan yang juga menjabat sebagai Pamong Budaya di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Banyuasin menekankan bahwa begubelan muncul bukan karena keinginan untuk melanggar norma, tetapi sebagai bentuk solusi dalam situasi buntu. Misalnya, ketika orang tua tidak merestui pernikahan padahal kedua calon mempelai sudah saling mencintai dan memenuhi syarat-syarat agama.

Dalam praktiknya, begubelan seringkali menimbulkan kontroversi, terutama dari sudut pandang modern yang cenderung menilai semua proses harus melalui persetujuan formal keluarga. Namun bagi masyarakat Melayu Banyuasin, begubelan tetap dianggap sebagai tindakan yang menjaga kesucian hubungan dan martabat perempuan. “Daripada hubungan mereka berlangsung diam-diam tanpa ikatan yang sah, begubelan adalah langkah yang jauh lebih bertanggung jawab,” imbuh Irwan yang juga dikenal sebagai penulis lagu-lagu daerah Banyuasin.
Di masa lalu, setelah prosesi begubelan, keluarga kedua belah pihak biasanya akan segera menggelar musyawarah adat untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Langkah ini dilakukan demi menjaga hubungan baik antar keluarga dan menghindari konflik berkepanjangan. Adat masih memainkan peran penting dalam meredam gejolak sosial yang timbul pasca-begubelan.

Masyarakat Melayu Banyuasin memiliki prinsip bahwa adat tidak hanya bersifat mengatur, tetapi juga memberi ruang solusi. Begubelan adalah salah satu contoh kearifan lokal yang tetap memberi ruang pada nilai-nilai kemanusiaan dan cinta kasih. “Adat itu hidup. Ia mengikuti zaman, tapi tidak kehilangan jati dirinya,” kata Irwan.

Namun demikian, Irwan juga mengingatkan bahwa begubelan tidak boleh dianggap enteng atau dilakukan sembarangan. Harus ada kedewasaan, tanggung jawab, dan kesiapan dari kedua belah pihak. “Kalau cuma karena ikut-ikutan atau emosi sesaat, itu justru bisa mencoreng adat. Begubelan itu solusi adat, bukan pelarian liar,” ujarnya.

Di era globalisasi, tradisi seperti begubelan memang rentan disalahpahami. Namun dengan edukasi budaya yang berkelanjutan, masyarakat diharapkan bisa memahami konteks dan nilai-nilai yang mendasari tradisi ini. Irwan menilai bahwa pelestarian adat seperti begubelan bukan untuk romantisasi masa lalu, melainkan untuk menjaga jati diri dan kearifan lokal dalam menghadapi tantangan masa kini.

Sebagai budayawan dan juga pencipta lagu-lagu daerah, Irwan kerap menyisipkan nilai-nilai tradisi Banyuasin dalam karya seninya. Ia percaya bahwa budaya bisa terus hidup jika dijaga melalui ekspresi seni, pendidikan, dan pewarisan lintas generasi. “Begubelan adalah cerita kita. Bukan untuk dihakimi, tapi untuk dipahami,” tutup Irwan dengan nada bijak (***) 
×
Berita Terbaru Update