![]() |
Ilustrasi |
Banyuasin, Banyuasin Pos – Di dusun-dusun lama wilayah Melayu Banyuasin, kehidupan anak-anak dahulu dipenuhi dengan keceriaan dan petualangan menyusuri sungai-sungai kecil yang mengalir di sekitar pemukiman. Sungai bukan hanya menjadi tempat bermain, mandi, dan memancing, tetapi juga ruang belajar yang sarat nilai dan kearifan lokal. Di tengah keceriaan itu, tumbuh sebuah kepercayaan yang mewarnai pola pikir dan perilaku anak-anak: kepercayaan terhadap makhluk gaib yang disebut Antu Aek.
Menurut budayawan Banyuasin, M. Irwan P. Ratu Bangsawan, Antu Aek bukan sekadar sosok menakutkan yang diceritakan orang tua untuk mendisiplinkan anak-anak. Lebih dari itu, ia merupakan simbol dari kekuatan alam yang harus dihormati. Kepercayaan ini mengajarkan bahwa sungai memiliki penjaga gaib yang akan marah jika manusia berlaku tidak sopan atau ceroboh di sekitarnya. Karena itu, anak-anak Melayu Banyuasin dididik sejak kecil untuk menjaga sikap dan perkataan mereka saat berada di dekat sungai, menjauhi kata-kata kasar, dan bersikap sopan.
Kepercayaan terhadap Antu Aek telah membentuk karakter generasi muda yang bertanggung jawab dan penuh kehati-hatian. Rasa takut yang sehat tumbuh dalam diri anak-anak, membuat mereka lebih sadar akan bahaya alam dan lebih peka terhadap lingkungan. Mereka tidak hanya belajar menghormati kekuatan tak kasat mata, tetapi juga menjaga sungai sebagai sumber kehidupan yang harus dilestarikan.
Antu Aek, dalam konteks budaya Melayu Banyuasin, adalah cermin dari pemahaman mendalam terhadap hubungan antara manusia dan alam. Ia mengajarkan bahwa setiap perilaku yang merusak lingkungan akan membawa konsekuensi, baik secara fisik maupun spiritual. Masyarakat percaya bahwa jika aturan tak tertulis ini dilanggar, Antu Aek bisa “mengambil” pelanggar dan membawanya ke alam lain yang tak bisa dijangkau oleh manusia biasa.
Lebih dari sekadar legenda, Antu Aek juga memperkuat solidaritas sosial. Karena kepercayaan ini bersifat kolektif, masyarakat saling mengingatkan untuk menjaga tata krama di sekitar sungai. Anak-anak tidak hanya belajar dari orang tua, tapi juga dari para tetua kampung, menciptakan hubungan antargenerasi yang erat dalam mentransfer nilai dan pengetahuan tradisional. Ikatan sosial ini turut membentuk komunitas yang saling peduli dan bekerja sama dalam menjaga kebersihan dan kelestarian sungai.
Sebagai warisan budaya, Antu Aek adalah bagian dari identitas masyarakat Melayu Banyuasin yang membedakannya dari komunitas lain. Cerita-cerita tentangnya diturunkan melalui dongeng, nasihat, atau bahkan ritual yang memperkuat kesadaran ekologis dan moral dalam kehidupan sehari-hari. Kepercayaan ini menjadi semacam sistem nilai yang tidak tertulis namun sangat efektif dalam mengatur perilaku masyarakat, terutama anak-anak, agar tidak bersikap sembrono terhadap alam.
M. Irwan P. Ratu Bangsawan menekankan bahwa keberadaan Antu Aek perlu terus diperkenalkan kepada generasi muda agar nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya tidak hilang tergerus zaman. Ia menyatakan, “Kepercayaan terhadap Antu Aek bukan hanya tentang momok yang menakutkan, tapi juga cermin dari kearifan lokal dalam menjaga alam dan memelihara tradisi kita.”
Dalam pandangan Irwan, Antu Aek mengajarkan pentingnya keterhubungan antara manusia dan lingkungan. Sungai dan makhluk di dalamnya dianggap bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Dengan menjaga sungai, maka manusia turut menjaga kelangsungan hidup mereka sendiri dan generasi yang akan datang.
Kepercayaan terhadap Antu Aek juga memiliki dimensi spiritual dan ekologis yang kuat. Ia membentuk cara pandang masyarakat tentang pentingnya keharmonisan dengan alam. Di tengah krisis lingkungan global saat ini, nilai-nilai tradisional seperti ini menjadi sangat relevan untuk dihidupkan kembali. “Dalam kepercayaan terhadap Antu Aek, kita belajar bahwa menjaga alam adalah membentuk masa depan yang berkelanjutan bagi generasi mendatang,” ujar Irwan.
Melalui Antu Aek, anak-anak Melayu Banyuasin belajar tentang tanggung jawab, kesopanan, dan pentingnya menjaga kelestarian sungai. Kepercayaan ini tak hanya membentuk pribadi yang disiplin dan peduli, tetapi juga memperkaya kebudayaan lokal dengan cerita, nilai, dan filosofi yang hidup dari generasi ke generasi. Di saat modernitas seringkali melupakan kearifan lokal, Antu Aek justru menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan—mengingatkan kita semua akan pentingnya menjaga harmoni dengan alam (***)