![]() |
| Ilustrasi |
Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Pemimpin Redaksi Banyuasin Pos
Ada sesuatu yang aneh tapi sudah terlalu sering terjadi di negeri ini: nama dan makna tak lagi bersaudara. Kita pandai menamai sesuatu dengan indah, tapi tidak selalu mau menanggung keindahan itu. Kata “Projo” misalnya, kini bukan sekadar nama organisasi, tapi juga sebuah peristiwa bahasa — di mana makna bisa ditarik sejauh mungkin dari asalnya, asal bisa terdengar luhur di telinga rakyat. Bahasa telah berubah fungsi: bukan lagi jembatan antara hati dan kebenaran, tapi tirai yang menutupi niat.
Saya mencoba mencari arti kata “Projo” itu sendiri — dalam bahasa Sanskerta maupun Jawa Kawi — berharap menemukan akar makna yang sahih, sebagaimana diklaim oleh sebagian pihak. Namun setelah menelusuri kamus dan sumber-sumber yang bisa dipercaya, tidak ada satu pun bukti yang meyakinkan bahwa “Projo” berarti “negeri” dalam Sanskerta atau “rakyat” dalam Kawi. Yang ada hanyalah klaim, bukan jejak. Dan seperti kita tahu, klaim tanpa dasar kerap menjadi cara halus untuk mengubah sejarah menjadi cerita yang lebih indah bagi kepentingan tertentu.
Bahasa, sejatinya, tidak pernah berdusta. Manusialah yang memelintirnya. Sanskerta dan Kawi lahir dari rahim kebudayaan yang menempatkan makna sebagai kesucian, bukan alat rias bagi kekuasaan. Maka ketika kata-kata itu dipinjam untuk menutupi sesuatu yang lebih politis, yang sesungguhnya robek bukan hanya etimologi, tapi juga martabat kejujuran kita terhadap leluhur.
Kita sering lupa bahwa nama itu doa. Anak yang diberi nama baik akan tumbuh dengan harapan baik. Tapi ketika nama digunakan untuk menutupi sesuatu yang tak berani diakui, maka doa berubah menjadi dusta. Dan dusta yang diselimuti doa, lebih berbahaya daripada kebohongan yang diucapkan terang-terangan. Karena ia membuat banyak orang mengira mereka sedang berbuat mulia, padahal sedang berpartisipasi dalam pengaburan makna.
Mungkin, dalam hati kecilnya, para penggagas Projo memang ingin menunjukkan cinta kepada negeri. Tapi cinta yang jujur tak perlu memakai kostum Sanskerta. Ia cukup lahir dari perbuatan sederhana: menjaga amanah, menepati janji, menegakkan keadilan. Bahasa tak akan menolong mereka yang hatinya tak jujur, sebab keindahan kata hanya sekuat kebenaran yang menegakkannya.
Dan akhirnya, saya hanya bisa tertawa lirih. Sebab dalam dunia yang sibuk mempercantik nama, kita makin jarang menemukan manusia yang memperindah perbuatannya. Negeri ini tidak kekurangan kata-kata indah — yang kurang adalah kesetiaan kepada makna di baliknya. Maka jika hari ini kata “Projo” ingin berarti “negeri” atau “rakyat”, biarlah begitu. Asal jangan lupa, negeri dan rakyat sedang menunggu: bukan penamaan baru, tapi kejujuran yang lama (***)



