![]() |
| Ilustrasi |
Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Pemimpin Redaksi Banyuasin Pos
Ada wajah yang dulu begitu sering dikibarkan — wajah yang sederhana, tersenyum di tengah kerumunan, menjadi simbol harapan dan ketulusan. Wajah itu kini perlahan memudar dari bendera Projo. Bukan karena tinta yang luntur, tapi karena arah yang berubah. Setiap zaman memang punya warna sendiri. Namun di antara warna-warna itu, kita sering lupa menanyakan: siapa yang menggenggam kuas, dan untuk siapa lukisan ini dibuat?
Ketika Budi Arie berbicara tentang perubahan logo Projo, banyak yang menanggapinya dengan tepuk tangan sopan. Namun di balik tepuk itu, ada kisah cinta yang mulai kehilangan getarnya. Dulu, cinta rakyat kepada pemimpin lahir dari debu jalan dan keringat harapan — cinta yang polos, tidak perlu dihitung dalam survei elektabilitas. Tapi sekarang, cinta itu seperti baliho yang dipaku di setiap tikungan: masih tersenyum, tapi tak lagi tulus. Dulu rakyat berteriak karena percaya, kini mereka diam karena lelah. Dulu pemimpin berjalan bersama rakyat, kini rakyat hanya bisa menatap dari luar pagar istana, sambil bertanya pelan: “Apakah cinta memang selalu berakhir di meja kekuasaan?”
Barangkali inilah yang disebut perjalanan nasib. Bahwa setiap gerakan yang lahir dari semangat rakyat, cepat atau lambat akan berhadapan dengan godaan kekuasaan. Budi Arie menyebut dirinya ingin memperkuat agenda politik Presiden Prabowo. Sebuah niat yang tentu mulia bila berakar pada kejujuran. Tapi rakyat selalu tahu, antara memperkuat pemimpin dan memperkuat diri, garisnya sering terlalu tipis untuk dibedakan.
Wajah Jokowi di bendera Projo bukan sekadar siluet. Ia adalah simbol tentang bagaimana politik bisa punya wajah manusia. Wajah yang menunduk, bukan menatap dari menara tinggi. Wajah yang mengingatkan bahwa kekuasaan bukan soal siapa yang berkuasa, tapi siapa yang berani tetap berpihak ketika semua orang mulai berjarak. Ketika wajah itu dihapus, semoga bukan karena kita sudah lupa maknanya.
Kita hidup di masa ketika simbol bisa berganti lebih cepat daripada niat. Logo berubah, jargon diperbarui, partai berpelukan — seolah semua berjalan baik-baik saja. Tapi di hati rakyat kecil, ada rasa yang tak ikut diperbarui: rasa percaya yang pernah tumbuh dari peluh dan kesederhanaan. Itulah yang sebenarnya lebih penting dari warna bendera mana pun.
Dan mungkin, ketika wajah Jokowi benar-benar hilang dari bendera Projo, kita perlu bertanya pada diri sendiri: apa yang sebenarnya memudar — logonya, atau nurani kita? Sebab wajah bisa diganti, bendera bisa dikibarkan ulang, tapi makna tak akan pernah bisa dipoles seperti cat di dinding. Ia hanya akan tetap hidup di hati mereka yang dulu percaya, bahwa politik adalah jalan pengabdian, bukan sekadar panggung pergantian (***)



