-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Wajah yang Tak Bertopeng

Minggu, 26 Oktober 2025 | 18.35 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-26T15:01:45Z
Ilustrasi 

Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan 
Pemimpin Redaksi Banyuasin Pos 

Ada yang menarik dari orang Melayu, terutama di tanah Banyuasin: mereka hidup dalam kebudayaan yang tidak mengenal topeng. Bukan karena mereka tidak bisa membuatnya, atau tidak mengenal keindahan rupa, tapi karena wajah bagi orang Melayu bukan sekadar bagian tubuh — ia adalah cermin hati. Wajah adalah jendela batin, tempat keluar-masuknya kejujuran dan rasa malu. Maka bagaimana mungkin sesuatu yang begitu suci justru ditutupi?


Dalam sejarah, kita tahu bahwa banyak bangsa yang hidup dari dunia topeng: Bali dengan Topeng Sidakarya-nya, Jawa dengan Topeng Panji, atau Dayak dengan topeng upacara roh leluhur. Tapi Melayu tidak begitu. Di tanah air pasang surut sungai Musi, di kampung-kampung rawa Banyuasin, manusia tidak menyembunyikan wajahnya untuk menari di depan sesama. Mereka justru mengatur raut muka sebagai bahasa moral. Senyum, tunduk, menatap, atau menunduk — itu semua adalah topeng batin yang lebih halus dari kayu dan cat warna.


Barangkali karena itulah Islam datang dan berlabuh di pesisir Melayu dengan lembut. Tidak ada benturan antara ajaran tauhid dengan kebiasaan mereka. Islam hanya menegaskan sesuatu yang sebenarnya sudah ada: keindahan itu bukan pada rupa, tapi pada makna. Maka ketika bangsa lain menari dengan topeng untuk menyapa dunia roh, orang Melayu menari dengan wajah yang jujur, menyapa dunia nyata dengan adab dan rasa malu. “Malu itu sebagian dari iman,” kata Nabi. Dan bagi orang Melayu, iman itu tampak di wajah.


Dalam pesta adat, yang dipoles bukan topeng, melainkan perilaku. Pengantin disembunyikan di balik kain halus, bukan untuk menyembunyikan rupa, tapi untuk menegaskan kehormatan. Perempuan menunduk bukan karena lemah, tapi karena tahu bahwa kesopanan lebih tinggi nilainya daripada keindahan yang dipamerkan. Lelaki menatap bukan untuk menantang, melainkan untuk meneguhkan niat baik. Semua ini menunjukkan bahwa kebudayaan Melayu menempatkan wajah sebagai teks moral, bukan medium artistik.


Mungkin inilah yang sering luput kita pahami: bahwa dalam masyarakat Melayu, ketidakhadiran topeng justru adalah pernyataan kebudayaan. Mereka menolak penyamaran. Mereka lebih suka memperindah kejujuran. Wajah mereka adalah panggung, bukan penutup panggung. Dalam cara berbicara yang sopan, cara berpakaian yang tertib, cara bergaul yang penuh pertimbangan, tersimpan satu pesan sederhana — manusia tidak perlu wajah kedua untuk menjadi indah.


Jadi, ketika dunia hari ini semakin ramai oleh wajah palsu — topeng digital, topeng sosial, topeng politik — barangkali orang Melayu Banyuasin sedang memberi pelajaran diam-diam. Bahwa sejatinya, manusia tidak kehilangan topeng; justru ia terlalu banyak memakainya. Dan orang Melayu, dengan segala kesederhanaannya, sudah sejak lama menanggalkannya. Mereka tetap menari, tetap bersyair, tetap hidup — dengan wajah yang jujur dan hati yang tidak berdusta (***) 

×
Berita Terbaru Update