![]() |
Dulu orang berperang pakai tombak, pedang, meriam, atau paling modern pakai rudal balistik. Sekarang, perang itu bisa terjadi tanpa suara letusan senjata. Orang bisa meruntuhkan lawannya hanya dengan satu klik, dengan satu narasi yang menyebar di jagat digital. Dunia maya ibarat medan perang tanpa tanah dan darah, tapi luka yang ditinggalkan bisa jauh lebih dalam.
Di media sosial, kita bisa lihat bagaimana opini dibangun seperti tembok tinggi. Ada tentara-tentara baru: buzzer, troll, pasukan siber. Mereka tidak mengenakan seragam, tapi jempol mereka lebih tajam dari bayonet. Mereka tidak menyerbu desa, tapi menyerbu pikiran. Mereka tidak menembakkan peluru, tapi menyebarkan hoaks dan propaganda yang bikin orang saling curiga.
Kalau perang dulu jelas siapa kawan siapa lawan, sekarang serba abu-abu. Bisa jadi orang yang duduk satu meja dengan kita, satu kantor, bahkan satu keluarga, adalah “korban perang digital” yang sudah terseret oleh narasi yang tak pernah kita ketahui asal-usulnya. Kita pun kadang tak sadar, ikut jadi prajurit gratisan, membagikan berita tanpa sempat menimbang kebenarannya.
Yang paling rawan dari perang digital adalah hilangnya nurani. Kalau dulu perang mengorbankan fisik, kini perang digital meluluhlantakkan batin dan akal sehat. Orang bisa kehilangan persahabatan, tetangga bisa retak, bangsa bisa tercerai-berai hanya gara-gara satu kalimat yang viral. Perangnya sunyi, tapi kehancurannya bisa lebih dahsyat dari ledakan bom.
Maka, mungkin inilah saatnya kita belajar cara “bertapa digital.” Belajar menahan diri untuk tidak terburu-buru mengomentari, menghakimi, atau ikut berperang di medan yang tidak jelas siapa jenderalnya. Karena perang modern bukan lagi soal siapa punya senjata paling canggih, tapi siapa yang mampu menjaga akal sehat dan hati nuraninya di tengah ributnya dunia maya (***)