![]() |
Ilustrasi |
Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Sebelum mimbar berdiri di Masjid Nabawi, Rasulullah ﷺ biasa berkhutbah dengan bersandar pada sebatang pohon kurma. Pohon itu menjadi saksi dari setiap kata yang membawa cahaya, dari setiap nasihat yang menuntun hati para sahabat menuju kebenaran. Ia diam, tapi jiwanya hidup. Dalam getar sabda itu, ia seolah ikut berzikir — menjadi bagian kecil dari semesta yang memuliakan utusan Allah.
Ketika mimbar baru selesai dibuat, Rasulullah ﷺ naik ke atasnya dan meninggalkan pohon itu di tempatnya. Hari itu, khutbah tetap berlangsung, dan suara beliau tetap teduh. Tapi tiba-tiba, Rasulullah ﷺ berhenti berbicara. Wajah beliau menunduk, lalu beliau turun dari mimbar. Tak ada yang tahu mengapa. Ternyata, beliau mendengar suara tangisan dari batang pohon kurma itu — tangisan yang hanya beliau dengar. Pohon itu merintih seperti unta yang kehilangan tuannya.
Rasulullah ﷺ lalu menghampiri pohon itu, memeluknya, dan menenangkannya. Beliau tahu, pohon itu menangis karena rindu — karena tak lagi disentuh, tak lagi menjadi tempat beliau bersandar. Dan ketika batang kurma itu merasakan kembali dekapan kasih dari Rasulullah ﷺ, tangisnya pun mereda. Masjid kembali hening, tapi keheningan itu bukan kekosongan; ia adalah ruang penuh cinta antara makhluk dan nabinya.
Betapa agung kasih sayang itu. Pohon yang tak punya hati pun bisa merasakan kehilangan. Ia menangis bukan karena ditinggalkan, tapi karena cinta yang terlalu dalam untuk diabaikan. Kadang aku berpikir, mungkin cinta sejati memang tidak perlu suara. Ia hanya perlu hati yang hidup — seperti Rasulullah ﷺ yang mendengar rindu tanpa telinga, memahami tangis tanpa kata.
Kisah ini terasa seperti cermin. Kita yang berakal, berperasaan, dan diberi kemampuan berkata — masihkah kita punya kepekaan seperti sebatang pohon itu? Masihkah hati kita lembut, masihkah rindu kita hidup, masihkah kita menangis ketika jauh dari Rasulullah ﷺ? Ataukah kita justru telah menjadi kering — sibuk, keras, tak lagi peka pada getar cinta Ilahi yang halus itu?
Mimbar dan pohon itu kini hanya tinggal cerita, tapi maknanya masih tumbuh di antara kita. Bahwa yang paling dekat dengan Rasulullah ﷺ bukan yang paling tinggi di mimbar, tapi yang paling lembut hatinya. Dan barangkali, di setiap hati yang masih bisa menangis karena rindu kepada beliau, di sanalah cinta yang tak berjarak itu masih hidup — pelan, jujur, dan abadi (***)