-->

Notification

×

Iklan

Iklan

"Ganti Menteri, Ganti Kurikulum": Guru Jadi Korban Ketidakstabilan Pendidikan

Kamis, 02 Oktober 2025 | 07.00 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-02T00:00:00Z

Ilustrasi 

Banyuasin Pos – Guru selalu disebut sebagai ujung tombak pendidikan. Namun, di balik panggilan mulia itu, mereka justru sering kali menjadi pihak yang paling kerepotan setiap kali terjadi perubahan kebijakan. Fenomena “ganti menteri, ganti kurikulum” telah menjadi ironi tersendiri dalam dunia pendidikan Indonesia.


Kurikulum sejatinya dirancang untuk membentuk generasi yang cerdas, berkarakter, dan siap menghadapi tantangan zaman. Akan tetapi, perubahan kurikulum yang terlalu sering justru melahirkan kebingungan. Banyak guru merasa tak punya cukup waktu untuk memahami esensi dari kurikulum baru karena proses transisi sering dilakukan terburu-buru, tanpa kajian mendalam dan tanpa pelatihan yang memadai.


“Kadang kami merasa seperti uji coba,” ungkap seorang guru sekolah menengah di Banyuasin. Ia mengaku kerap merasa tertekan ketika harus segera menguasai kurikulum baru, padahal belum sepenuhnya menguasai yang lama. Situasi ini membuat guru lebih banyak bergelut dengan administrasi dibanding fokus mengajar dengan metode kreatif.


Beban itu makin terasa berat di sekolah-sekolah yang fasilitasnya terbatas. Buku pelajaran, modul, dan perangkat belajar yang harus terus diperbarui membutuhkan biaya besar. Sementara di banyak daerah, masalah mendasar seperti ruang kelas yang memadai dan akses teknologi masih jauh dari ideal. Akibatnya, kesenjangan pendidikan antara kota dan desa semakin lebar.


Bagi siswa, kondisi ini tentu berdampak langsung. Mereka kehilangan pengalaman belajar yang seharusnya kaya dan menyenangkan karena guru lebih banyak beradaptasi dengan aturan baru. Alih-alih menumbuhkan kreativitas dan rasa ingin tahu, pembelajaran kerap terjebak dalam rutinitas administratif.


Pengamat pendidikan menilai, yang dibutuhkan bukanlah perubahan kurikulum yang drastis setiap kali berganti menteri, melainkan sebuah visi jangka panjang yang konsisten. Kurikulum idealnya berkembang secara evolutif, bukan revolutif. Dengan begitu, guru memiliki cukup ruang untuk mendalami, mengeksplorasi, dan memaksimalkan potensi kurikulum yang ada.


Tak kalah penting, guru seharusnya dilibatkan sejak awal dalam penyusunan kurikulum. Mereka yang setiap hari berhadapan dengan siswa tentu tahu kebutuhan nyata di kelas. Keterlibatan ini bukan hanya akan membuat kurikulum lebih realistis, tetapi juga menumbuhkan rasa memiliki, sehingga implementasi berjalan lebih baik.


Fenomena “ganti menteri, ganti kurikulum” seharusnya menjadi pelajaran berharga bahwa pendidikan tidak bisa dijadikan alat politik jangka pendek. Pendidikan adalah investasi masa depan bangsa, yang hanya bisa berhasil jika dijalankan dengan konsistensi, stabilitas, dan kerja sama dari semua pihak: pemerintah, guru, orang tua, hingga masyarakat (***) 

×
Berita Terbaru Update