![]() |
| Ilustrasi |
Asap tipis dari ayam panggang mengepul dari sebuah rumah panggung. Di atas dulang, tersaji ketan kunyit berwarna kuning keemasan, harum dan hangat. Beberapa orang tua duduk bersila, wajah mereka tenang, sementara suara doa perlahan mengalun. Inilah tepung tawar, sebuah tradisi yang sejak lama menjadi penanda harmoni di tengah masyarakat Melayu Banyuasin.
Meski namanya “tepung tawar,” tradisi ini jarang benar-benar menggunakan tepung. Di Banyuasin, simbol perdamaian dan doa lebih sering diwujudkan lewat ketan kunyit dan ayam panggang. Perbedaan kecil ini justru memperlihatkan betapa lenturnya budaya: ia bisa menyesuaikan diri, tanpa kehilangan makna yang sesungguhnya.
Tradisi ini mengajarkan, damai bisa lahir dari sesuatu yang sederhana: keberanian mengakui kesalahan, keikhlasan memberi, dan kehangatan berbagi makanan.
Cacap-cacapan bukan hanya ritual, tapi juga bahasa simbol: pernikahan adalah peristiwa yang melibatkan seluruh komunitas, bukan hanya dua insan yang bersanding.
Jika dijaga, tradisi ini bahkan bisa menjadi daya tarik wisata budaya Banyuasin. Bayangkan festival adat yang menampilkan prosesi tepung tawar, dokumentasi digital yang bisa diakses luas, atau forum lintas generasi di mana para sesepuh bercerita kepada anak-anak muda.
Tepung tawar bukan sekadar kenangan. Ia adalah cermin identitas orang Melayu Banyuasin, penanda bahwa harmoni dapat dirawat dengan cara sederhana. Duduk bersama, berbagi makanan, dan saling mendoakan—itulah inti dari tradisi yang membuat manusia tetap manusia (***)



