-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Tepung Tawar: Jejak Damai dari Bumi Melayu Banyuasin

Senin, 01 September 2025 | 19.17 WIB | 0 Views Last Updated 2025-09-01T15:02:21Z
Ilustrasi 

Asap tipis dari ayam panggang mengepul dari sebuah rumah panggung. Di atas dulang, tersaji ketan kunyit berwarna kuning keemasan, harum dan hangat. Beberapa orang tua duduk bersila, wajah mereka tenang, sementara suara doa perlahan mengalun. Inilah tepung tawar, sebuah tradisi yang sejak lama menjadi penanda harmoni di tengah masyarakat Melayu Banyuasin.


Meski namanya “tepung tawar,” tradisi ini jarang benar-benar menggunakan tepung. Di Banyuasin, simbol perdamaian dan doa lebih sering diwujudkan lewat ketan kunyit dan ayam panggang. Perbedaan kecil ini justru memperlihatkan betapa lenturnya budaya: ia bisa menyesuaikan diri, tanpa kehilangan makna yang sesungguhnya.


Jalan Damai yang Bersahaja
Di masa lalu, ketika dua pihak berselisih, tepung tawar hadir sebagai jalan keluar. Pihak yang bersalah membawa sesaji sederhana—ketan kunyit dan ayam panggang—untuk diberikan kepada pihak yang dirugikan. Mereka lalu duduk bersama, berbicara, dan saling memaafkan. Tidak ada rasa dendam yang disisakan, hanya kelegaan dan hubungan yang kembali rukun.


Tradisi ini mengajarkan, damai bisa lahir dari sesuatu yang sederhana: keberanian mengakui kesalahan, keikhlasan memberi, dan kehangatan berbagi makanan.


Doa Restu dalam Pernikahan
Dalam pesta pernikahan, tepung tawar dikenal dengan nama “cacap-cacapan.” Saat prosesi ini berlangsung, pasangan pengantin menerima doa dan restu dari keluarga serta tetua adat. Butir ketan kunyit dan sentuhan simbolik menjadi pengikat agar rumah tangga yang baru dibangun mendapat berkah.


Cacap-cacapan bukan hanya ritual, tapi juga bahasa simbol: pernikahan adalah peristiwa yang melibatkan seluruh komunitas, bukan hanya dua insan yang bersanding.


Menolak Bala dengan Simbol
Tak hanya hadir dalam damai dan pernikahan, tepung tawar juga digunakan untuk menolak bala. Ada yang menaburkan tepung beras ke kendaraan baru sembari berdoa, ada pula yang tetap setia pada sesaji ketan kunyit dan ayam panggang. Perbedaan cara tidak mengurangi tujuan: meminta perlindungan, menolak mara bahaya, dan menjaga keselamatan.


Menyambung Warisan ke Masa Depan
Kini, tradisi tepung tawar mulai jarang ditemui. Generasi muda lebih banyak tumbuh dengan gawai di tangan, sementara nilai-nilai adat perlahan memudar. Meski begitu, pesan yang terkandung tetap relevan: menjaga damai, menghormati sesama, dan merawat kebersamaan.


Jika dijaga, tradisi ini bahkan bisa menjadi daya tarik wisata budaya Banyuasin. Bayangkan festival adat yang menampilkan prosesi tepung tawar, dokumentasi digital yang bisa diakses luas, atau forum lintas generasi di mana para sesepuh bercerita kepada anak-anak muda.


Tepung tawar bukan sekadar kenangan. Ia adalah cermin identitas orang Melayu Banyuasin, penanda bahwa harmoni dapat dirawat dengan cara sederhana. Duduk bersama, berbagi makanan, dan saling mendoakan—itulah inti dari tradisi yang membuat manusia tetap manusia (***) 

×
Berita Terbaru Update