 |
| Rocky Gerung |
Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Pemimpin Redaksi Banyuasin Pos
Kadang-kadang demokrasi itu seperti kaca yang dipajang di ruang tamu. Dulu bening, bikin kita bangga memandang wajah sendiri. Lama-lama, kaca itu berdebu, retak di sana-sini, hingga wajah kita tampak aneh saat bercermin. Nah, Rocky Gerung tampaknya sedang menunjukkan kaca retak itu kepada polisi, sambil bilang: “Hei, ini bukan soal saya, ini soal cerminmu yang pecah.”
Publik marah pada polisi bukan karena benci seragam cokelatnya, melainkan karena merasa wajah mereka sendiri terlihat buruk di cermin itu. Isu Fufufafa, ijazah palsu, dan segala macam sindiran hanyalah serpihan yang membuat retakannya makin jelas. Yang diserang sebenarnya bukan tubuh polisi, tapi bayangan demokrasi yang ditampilkan oleh kaca itu.
Lucunya, ketika orang menunjuk kaca retak, malah ada yang balik menuduh: “Jangan-jangan kau dibayar!” Padahal orang itu cuma ingin menunjukkan betapa wajah kita semua sudah tak lagi terlihat utuh. Rocky pun dituding macam-macam, sementara rakyat makin bingung: siapa yang mau benar-benar membersihkan kaca itu?
Kalau kaca retak dibiarkan, semua orang akan bercermin dengan wajah yang salah. Aktivis tampak licik, jurnalis tampak bayaran, dosen tampak berpihak. Padahal mungkin wajah aslinya tak begitu. Tapi karena cermin sudah retak, semua jadi terlihat miring.
Di titik ini, seharusnya polisi tidak marah pada kritik. Justru kritik itu seperti tukang kaca yang kasih tahu: “Pak, kacanya sudah pecah, ayo ganti.” Kalau marah, yang ada rakyat akan memilih bercermin di kaca lain—entah di media sosial, entah di ruang-ruang gelap sindiran.
Demokrasi bukan soal siapa yang paling kuat bersuara, tapi siapa yang mau dengan rendah hati memperbaiki retakan. Kalau kaca itu akhirnya diganti, wajah rakyat bisa kembali jernih dipantulkan. Dan siapa tahu, polisi pun ikut tersenyum melihat bayangan dirinya sendiri yang lebih utuh (***)
